Jumat 22 Jun 2018 22:35 WIB

RDG BI Bahas Kenaikan Suku Bunga dan Makroprudensial

Relaksasi makroprudensial bisa dilakukan dari sisi pelonggaran LTV dan indend

Rep: binti sholikah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Gubernur BI, Perry Warjiyo bersalaman bersama  tamu undangan  acara halal bihalal Bank Indonesia ,  di komplek gedung BI Jakarta, Jumat (22/6).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Gubernur BI, Perry Warjiyo bersalaman bersama tamu undangan acara halal bihalal Bank Indonesia , di komplek gedung BI Jakarta, Jumat (22/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan Bank Indonesia pada 27-28 Juni 2018 akan membahas mengenai langkah pre-emptive melalui kenaikan suku bunga acuan BI 7 Day Reserve Repo Rate maupun relaksasi makroprudensial. 

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan Bank Indonesia fokusnya menjaga stabilitas ekonomi khususnya stabilitas nilai tukar Rupiah dalam jangka pendek ini. Oleh karena itu, lanjutnya, Bank Indonesia siap melakukan langkah pre-emptive terhadap perkembangan baru terhadap arah kebijakan baru luar negeri seperti Bank Sentral AS The Federal Reserve dan Bank Sentral Eropa (ECB).

The Fed kemungkinan tahun ini menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali. Sedangkan ECB sudah mulai jelas normalisasi dari kebijakan moneter dengan mengurangi penjualan asetnya mulai September. Arah kebijakan moneter khususnya dua negara itu akan menjadi perhatian BI. 

Di samping itu, risiko yang terjadi di pasar keuangan dinilai masih tinggi. "Oleh karena itu di RDG ke depan BI  siap melakukan langkah pre-emptive bisa berupa kenaikkan suku bunga dan bisa dalam bentuk relaksasi kebijakan makroprudensial untuk mendorong sektor perumahan itu yang kita laksanakan dan RDG yang akan datang. Detailnya akan diumumkan setelah RDG kami lakukan," terang Perry kepada wartawan di sela-sela acara Halal Bi Halal di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (22/6). 

Perry menambahkan, langkah pre-emptive di dalam RDG ke depan, dapat berupa kenaikan suku bunga, yang akan semakin membuat pasar aset keuangan lebih menarik. Apalagi jika Bank Indonesia juga melakukan relaksasi makroprudensial sektor perumahan. 

Menurutnya, jika sektor perumahan direlaksasi, maka tidak hanya perumahan yang baik, tetapi juga pertumbuhan ekonomi akan semakin baik. Hal itu juga akan menarik bagi investor-investor, khususnya di pasar modal. 

"Bahwa dengan langkah pre-emptive stabilitas akan terjaga dan pertumbuhan akan membaik, dan itu akan membuat bahwa pasar keuangan itu menarik bagi investor baik dalam dan luar negeri," imbuh Perry. 

Di sisi lain, Perry menegaskan Bank Indonesia tetap melakukan intervensi terhadap nilai tukar rupiah. BI berada di pasar akan terus melakukan langkah stabilisasi secara langsung melalui dual intervensi.

Hal tersebut juga untuk menjaga dan meyakinkan likuiditas di dalam negeri itu cukup. Apalagi nantinya akan ada arus balik dari uang masuk yang bulan lalu keluar digunakan selama Lebaran.

"Sehingga itu juga memberikan suatu komitmen BI, agar kenaikan suku bunga, karena faktor luar negeri ini tidak perlu diikuti kenaikan suku bunga di dalam negeri," ucapnya.

Relaksasi makroprudensial bisa dilakukan dari sisi pelonggaran loan to value (LTV) berupa penurunan uang muka (down payment/DP), juga bisa dari relaksasi di indend dan juga beberapa mengenai relaksasi dalam termin pembayaran.

Setelah RDG, Dewan Gubernur Bank Indonesia akan membahas lagi lebih detail mengenai relaksasi makroprudensial. Data Bank Indonesia menunjukkan sektor perumahan akan meningkat dalam dua hal yakni first time buyer (pembeli pertama) dan investment buyer (pembeli untuk investasi).

Data BI menunjukkan apartemen maupun rumah tapak bagi kalangan muda usia 36-45 tahun permintaannya cukup tinggi. Hal tersebut menjadi fokus relaksasi yang dilakukan BI. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement