REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan akan menaikkan tarif batas atas tiket pesawat terbang. Kebijakan ini akan diambil apabila harga bahan bakar avtur serta nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami kenaikan 10 persen.
"Kalau sudah kenaikan bahan bakar dan mata uang, masukan dalam rumus ya 10 persen baru kita naikkan, ini belum," kata Direktur Angkutan Udara Maria Kristi Endah Murni saat ditemui di Jakarta, Kamis (7/6).
Baca juga, AP II Prediksi Ada 50 Ribu Pergerakan Pesawat Saat Mudik
Ia menyebutkan pada dua hingga tiga minggu lalu kenaikan sudah mencapai 6,67 persen. "Naik 10 persen baru kita naikkan, ini 'kan tidak tiga minggu lalu baru 6,67 persen dihitung dari total biaya operasional," katanya.
Ia mengatakan terutama sedang musim mudik, maskapai tengah mengejar tarif batas atas. "Sekarang kan sudah bukan tarif batas bawah yang dikejar, Lebaran ini tarif batas atas," katanya.
Terkait tarif batas bawah, Kristi mengatakan pihaknya belum akan menaikkan tarif batas bawah 40 persen dari tarif batas atas, meskipun saat ini kenaikan harga avtur sudah mencapai 40 persen. "Belum itu per tiga bulan kita hitung, avtur 40 persen itu untuk 'double' dengan mata uang AS, tapi belum sampai," katanya.
Kristi mengatakan pihaknya juga telah menanggapi permintaan maskapai untuk menaikkan tarif batas bawah 40 persen dari tarif batas atas yang saat ini masih 30 persen. "Sudah kita jawab tapi kayaknya enggak masuk di hitungan dan maskapai juga mengerti," katanya.
Sebelumnya, Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Inaca) telah mengajukan penyesuaian tarif batas bawah 40 persen dari tarif batas atas kepada Kementerian Perhubungan atas menyusul kenaikan harga bahan bakar pesawat avtur yang saat ini sudah mencapai 40 persen.
Ketua Umum Inaca Pahala N Mansury mengatakan baik dari Inaca maupun Maskapai Garuda Indonesia telah mengajukan penyesuaian tarif batas tersebut sejak pertengahan 2017. "Sekarang tarif batas bawah 30 persen dari tarif batas atas, kita berharap dilakukan penyesuaian kembali lagi seperti sebelumnya 40 persen dari tarif batas atas," ujarnya.
Pahala menjelaskan 90 persen pengeluaran dilakukan dalam mata uang dolar AS, dan 30 persen porsi biaya operasional adalah untuk pembelian avtur. Sehingga, kenaikan biaya operasional saat ini mencapai 17 persen dengan depresiasi mata uang empat sampai lima persen.
"Pengeluaran kita hampir semua dalam dolar AS, sementara pendapatan dalam rupiah, jadi tidak berimbang. Tahun lalu harga avtur itu lebih rendah 29 persen, sekarang lebih mahal 12 persen," katanya.