REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Forum Alumni Independen Institut Pertanian Bogor (FAN IPB) mengusulkan pembentukan Kementerian Perkebunan. Menurut Pengarah FAN-IPB Muhamad Karim, usulan tersebut merupakan upaya yang logis guna memajukan atau membangkitkan kembali kejayaan sektor perkebunan, khususnya rempah-rempah. Sebab, komoditas rempah-rempah sejak era Yunani kuno, Persia, hingga Romawi sudah menjadi komoditas perdagangan dunia.
“Misalnya, Barus di pantai barat Sumatra telah menjadi pusat perdagangan rempah sejak zaman Yunani, Romawi, dan Mesir kuno. Begitu pula masa kerajaan-kerajaan Nusantara dan puncaknya di era kejayaan Islam pesisir abad 15 hingga 17 komoditas rempah-rempah menjadi primadona perdagangan dunia,” kata Karim pada diskusi kebangsaan dalam memperingati Hari Lahir Pancasila dengan tema “Mereka Datang dari Bogor untuk Indonesia” di Bogor, Jawa Barat, Jumat (1/6).
Menurut Karim, saat ini memang sedang mencuat wacana pembentukan Kementerian Perkebunan di Indonesia. Karena itu, FAN IPB merasa perlu mencermati hal tersebut secara objektif dan kritis.
Jika menilik sejarah perkebunan di Indonesia, kata dia, Nusantara pada prasejarah, awal kolonial, hingga menjelang Indonesia merdeka memang memegang peranan penting dan menjadi poros maritim dunia (PMD).
Pria alumni IPB 1995 yang kini mengajar Bioindustri di Universitas Trilogi Jakarta itu mengungkapkan, para pelaut Eropa dari Spanyol, Portugis, dan Belanda, mulai dari Magelhaens, Vasco da Gama, Colombus, dan sebagainya berusaha mencapai kepulauan Nusantara untuk mencari rempah-rempah. Bahkan, Pulau Run di Maluku Utara, di masa silam ditukar dengan Manhattan antara Inggris dengan Belanda demi bisnis rempah-rempah.
“Nusantara di masa silam bisa disebut sebagai Jalur Rempah Maritim (JRM). Kalau Cina masa silam punya Jalur Sutra, maka Nusantara memiliki JRM,” ungkapnya.
Karim menjelaskan, pada masa kolonial Belanda, perkebunan rempah-rempah, perkebunan karet, kopi, dan teh tetap memegang peranan penting sebagai komoditas andalan hingga berdirinya Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) pada 20 Maret 1602. Perusahaan ini memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Nusantara hingga Asia.
“Salah satu yang kita kenal di Indonesia yaitu pelayaran Hongi yang memonopoli bisnis rempah-rempah di kepulauan Maluku,” jelasnya.
Karim menilai, jika bangsa ini ingin mengembalikan dan memperkuat kontribusi perkebunan dalam perekonomian nasional dengan membentuk Kementerian Perkebunan, maka hal pokok yang mesti dipikirkan secara komprehesif ialah kehadiran kementerian ini menjadi penopang dan penghela visi Indonesia menuju PMD. "Jangan hanya mengakomodir kepentingan politik segelintir elite dalam distribusi kekuasaan pascaPemilu 2019."
Menurut dia, mestinya, kehadiran Kementerian Perkebunan menjadi ikon bagi perkuatan PMD dengan membangun ulang Jalur Rempah Maritim di Era Ekonomi Digital dengan komoditas utamanya perkebunan,” ucapnya.
Pengarah FAN-IPB lainnya yang juga sebagai pengajar IPB Doni Yusri menjelaskan, secara objektif, mesti diakui bahwa industri perkebunan menjadi salah satu penopang ekonomi nasional saat ini. Pada 2016 saja, industri perkebunan berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional hingga Rp 429 triliun.
“Kontribusi ini melampaui sektor minyak dan gas (migas) yang hanya Rp 365 triliun. Namun, dari 127 komoditas perkebunan itu, hanya 15 komoditas yang mampu menyumbang devisa negara. Komoditas penyumbang terbesar yaitu kelapa sawit yang mencapai Rp 260 triliun,” jelas Doni yang alumni program doktoral dari Jerman.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2016), produksi minyak sawit Indonesia mencapai 33,22 juta ton yang terdiri dari 22,36 juta ton bersumber dari perkebunan besar dan 10,87 juta ton dari perkebunan rakyat. Saat ini, di Indonesia perkebunan besar telah menguasai tiga komoditas utama seperti minyak sawit, inti sawit, dan teh. Sementara, perkebunan rakyat mendominasi penguasaan atas tanaman kakao, kopi, karet, dan kelapa.
“Timbul pertanyaan, apakah sawit bisa menjadi komoditas utama sekelas rempah-rempah untuk menopanng PMD? Komoditas apa lagi dari sektor perkebunan yang menjadi komoditas andalannya? Ataukah, komoditas rempah-rempah perlu direviitalisasi lagi di Indonesia sehingga berperan sebagai komoditas komplementer dengan sawit dalam perdagangan dunia untuk perwujudan PMD? Pertanyaan-pertanyaan ini penting agar kehadiran kementerian ini tidak menimbulkan konflik kelembagaan dan membebani anggaran negara,” tutur Doni.
Doni melanjutkan, jika kehadiran kementerian ini justru mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai PMD berbasiskan komoditas perkebunan, maka hal itu harus menjadi keniscayaan. Sebab, kementerian akan memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional, menciptakan lapangan kerja baru, dan mampu mengentaskan kemiskinan maupun kesenjangan ekonomi.
Koordinator FAN-IPB Amril Syahputra menambahkan, hadirnya Kementerian Perkebunan diharapkan tidak hanya berorientasi pada perkebunan besar semata, namun juga mendorong perkebunan rakyat agar petani dapat melonjak kesejahteraannya.
“Kementerian Perkebunan pun diharapkan mampu meningkatkan nilai tukar petani perkebunan rakyat (NTNR) sebagai indikator kesejahteraan mereka,” katanya.