Selasa 29 May 2018 06:23 WIB

Kuartal I 2018, Kredit Bermasalah BPR di Sumbar 9,2 Persen

Total penyaluran kredit pada kuartal pertama mencapai Rp 1,2 triliun.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Teguh Firmansyah
Kredit macet (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Kredit macet (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Tingkat kredit bermasalah atau non-perfoming loan (NPL) untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Sumatra Barat pada kuartal I 2018 tercatat 9,2 persen.  Kredit bermasalah senilai Rp 108 miliar dari total penyaluran kredit selama kuartal pertama tahun ini hingga Rp 1,2 triliun.

Kepala Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sumbar, Darwisman, mengungkapkan bahwa penyaluran kredit di Sumbar terbilang cukup tinggi, bertengger di posisi ke-11 nasional. Sementara dana yang dihimpun dalam bentuk tabungan dan deposito tercatat Rp 1,4 triliun.

"Artinya dana yang dihimpun lebih besar dari penyaluran kredit, dan ini bagus," jelas Darwisman di Kantor OJK Sumbar, Senin (28/5).

Darwisman meyakinkan, tingkat NPL BPR di Sumbar, meski berada di atas benchmarking atau standar nilai nasional yakni 5 persen, masih berada dalam jangkauan OJK dalam melakukan pengawasan.

OJK Sumbar secara berkala meminta BPR di Sumbar membuat action plan untuk menuntaskan kredit bermasalah. Hal ini harus dilakukan seluruh BPR rutin setiap bulannya. "Setelah itu kalau tidak ada progres kami lakukan meeting pendalaman," kata Darwisman.

Cukup tingginya angka NPL BPR di Sumbar sebetulnya tak lepas dari banyaknya jumlah BPR yang beroperasi. Catatan OJK, Sumbar memiliki 96 BPR. Angka ini jauh lebih banyak dibanding jumlah BPR di provinsi lain, seperti Aceh dengan 15 BPR, Sulawesi Tengah yang hanya punya 8 BPR, Jambi dengan 19 BPR, atau Sumsel-Babel dengan 30-an BPR.

Darwisman menjelaskan, banyaknya BPR di Sumbar memiliki sejarah yang cukup panjang. BPR di Sumbar booming setelah kebijakan pemerintah Orde Baru melalui paket kebijakan 27 Oktober 1988 atau Pakto 88.

Aturan tersebut memberikan keleluasan untuk mendirikan bank umum dan BPR. Pendirian bank umum bisa dilakukan dengan modal yang disetor minimal Rp 10 miliar, sementara BPR cukup dengan modal disetor minimal Rp 50 juta.

Sejalan dengan Pakto 88, Bank Indonesia (BI) juga secara intensif mengembangkan bank-bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi BPR.

Di Sumbar, lembaga keuangan masyarakat yang ada berwujud Lumbung Pitih Nagari (LPN). Lembaga keuangan inilah yang kemudian bertransformasi menjadi BPR hingga saat ini. Total, ada 67 BPR dari 96 BPR di Sumbar saat ini yang merupakan 'jelmaan' dari Lumbung Pitih Nagari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement