Jumat 11 May 2018 15:44 WIB

Kemenkeu: Pasar Menuju Keseimbangan Baru

Pemerintah tidak khawatir jika surat berharga negara tak laku di pasar.

Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman yakin gejolak di pasar surat berharga negara (SBN) hanya berlangsung sementara. "Kita percaya ini masih temporary," kata Luky dalam pemaparan di Jakarta, Jumat (11/5).

Dia menjelaskan, gejolak yang sedang terjadi karena pelaku pasar sedang beradaptasi untuk menuju titik ekulibrium yang baru dalam menghadapi membaiknya kondisi perekonomian di AS.

Pihaknya juga tidak khawatir ketika penerbitan SUN pemerintah pada Selasa (8/5) tidak diminati para investor karena gejolak ini tidak mencerminkan kondisi pasar keuangan yang sebenarnya.

Namun, menurut dia, untuk mengantisipasi hal-hal yang bisa menganggu kondisi pembiayaan, pemerintah sudah melakukan berbagai mitigasi, di antaranya, dengan melakukan penerbitan SBN pada awal tahun (front loading).

Kemudian, pemerintah juga melakukan pinjaman dari lembaga multilateral, menyiapkan BUMN maupun BLU untuk membeli surat utang pemerintah, dan menarik dana dari private placement. "Kita tidak berharap ini begini terus dan percaya market akan lebih stabil lagi," kata Luky.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kondisi perekonomian global, yang saat ini sedang bergejolak, karena sedang menuju tingkat normal yang baru.

Menanggapi situasi perubahan ini, ia mengatakan, pemerintah sedang menyiapkan diri dengan kondisi normal yang baru agar ketidakpastian yang terjadi bisa dimitigasi.

"Kita harus melakukan adjustment dengan apa yang disebut normal yang baru," kata mantan direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan, tantangan global terutama datang dari siklus peningkatan suku bunga di Amerika Serikat (AS), meningkatnya harga minyak dunia, serta menguatnya risiko geopolitik sebagai akibat meningkatnya tensi sengketa dagang AS-Cina, serta pembatalan kesepakatan nuklir AS-Iran. Semua itu mengakibatkan dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah.

BI mencatat, per 9 Mei 2018, selama Mei 2018 (month to date) kurs rupiah melemah 1,2 persen, Thai baht 1,76 persen, dan Turkish lira 5,27 persen. Sementara itu, sepanjang 2018 (year to date) rupiah melemah 3,67 persen, Philippines peso 4,04 persen, India rupee 5,6 persen, Brazil real 7,9 persen, Russian rubel 8,84 persen, serta Turkish lira 11,42 persen.

"Melemahnya nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan terakhir sudah tidak lagi sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini," kata Agus menegaskan melalui pernyataan resminya, Jumat, (11/5).

Maka, terkait hal itu, kata dia, dengan melihat masih besarnya potensi tantangan dari kondisi global yang bisa berpotensi menganggu kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah panjang, BI akan secara tegas sekaligus konsisten mengarahkan dan memprioritaskan kebijakan moneter pada terciptanya stabilitas.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement