REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemenuhan sebagian tuntutan Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) dan Asosiasi Pilot Garuda (APG) oleh manajemen PT Garuda Indonesia, tak membuat para pekerja menghentikan niat mereka mengancam melakukan mogok kerja. Pengamat kebijakan publik Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie menilai, langkah itu bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
''Alasannya mogok kerja itu harus didasari gagalnya perundingan atau deadlock yaitu tidak tercapai kesepakatan, antara serikat pekerja dengan perusahaan. Yang terjadi kan tidak, justru Sekarga dan APG menutup ruang dialog yang diberikan perusahaan,'' ujar Jerry dalam siaran pers, Rabu (9/5).
Sebagian tuntutan karyawan sudah dipenuhi, di antaranya penghapusan posisi direktur Produksi PT Garuda Indonesia yang dijabat Puji Nur Handayani. Kemudian, melalui RUPS, pemegang saham mengangkat Triyanto Moeharsono sebagai direktur operasi dan I Wayan Susena sebagai direktur teknik.
Selain itu, tuntutan menghilangkan posisi direktur cargo dan mengganti direktur SDM dan umum yang dijabat Linggarsari Suharso adalah menjadi kewenangan pemerintah sebagai pemegang saham. Dalam hal ini, Serikat pekerja dan APG tidak berhak mengintervensi.
Di satu sisi, kinerja Garuda saat ini tengah membaik. Garuda berhasil menekan kerugian pada kuartal pertama 2018 yang tercatat 64,3 juta dolar AS atau sekitar Rp 868 miliar. Capaian itu berarti turun 36,5 persen dibandingkan dengan Januari-Maret 2017 sebesar 101,2 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,36 triliun.
''Pilot itu laksana dokter, polisi, tentara, sifat pelayanan publiknya tidak layak mogok kerja, apalagi gaji mereka di atas ketiga profesi tadi. Gaji dan fasilitas pilot sudah sangat memadai. Buat apa lagi mereka mogok?" ujar Jerry.