REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, Bank Indonesia (BI) perlu menentukan pilihan terkait kebijakan tingkat suku bunga acuan. Hal ini guna merespons tekanan dolar AS terhadap nilai tukar rupiah yang sudah menembus level Rp 14 ribu per dolar AS.
"Memang pada situasi kurs berfluktuasi ya pilihannya satu dari dua, tidak bisa dua-duanya. Mau mempertahankan tingkat bunga atau mempertahankan kurs. Jadi, ya tidak bisa dua-duanya," ujar Darmin di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta pada Senin (7/5).
Seperti diketahui, selain ingin menjaga nilai tukar rupiah, bank sentral juga ingin mendukung momentum pertumbuhan ekonomi. Kendati demikian, di saat rupiah tertekan, ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2018 hanya tumbuh sebesar 5,06 persen. Sementara, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2018 bisa mencapai 5,4 persen.
Menurut Darmin, Indonesia tidak sendirian menghadapi penguatan dolar AS. Oleh karena itu, ia mengaku hal ini tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.
Ia menyebut, Bank Indonesia akan bergerak untuk menjaga nilai tukar rupiah.
"Mestinya tidak berarti akan bertahan di angka itu (Rp 14 ribu per dolar AS) dan BI saya kira juga akan melakukan langkah-langkah," ujarnya.
Pergerakan kurs rupiah makin terperosok pada awal pekan. Bahkan, sore ini mata uang Tanah Air tersebut telah menembus level Rp 14 ribu per dolar AS.
Berdasarkan spot perdagangan mata uang hari ini, Senin (7/5), mata uang rupiah ditutup melemah 56 poin atau 0,40 persen di Rp 14.001 per dolar AS. Padahal, saat pembukaan masih di posisi Rp 13.949 per dolar AS.
Sementara itu, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), kurs rupiah berada di level Rp 13.956 per dolar AS. Angka itu makin merosot dibandingkan Jumat lalu yang Rp 13.943 per dolar AS.
Analis Binaartha Securities Reza Priyambada mengatakan, pergerakan mata uang dolar AS memang masih cenderung menguat. Dengan begitu memberikan imbas pada pergerakan rupiah yang kembali melemah pada awal pekan ini.
Adanya rilis Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia yang mengindikasikan peningkatan pertumbuhan penjualan eceran pada Maret 2018 yang didukung kelompok suku cadang dan aksesori serta kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang tecermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) yang tumbuh 2,5 persen (YOY), meningkat dari 1,5 persen (YOY) pada bulan sebelumnya pun tidak cukup kuat mengangkat kurs rupiah. Begitu pula dengan rilis Ekonomi Indonesia pada kuartal I 2018 yang 5,06 persen juga tidak membuat rupiah bergerak positif.
"Pergerakan dolar AS masih cenderung menguat, meski dirilis penambahan kinerja yang di bawah estimasi sebelumnya. Pelaku pasar masih mengkhawatirkan adanya peningkatan inflasi pada ekonomi AS," ujar Reza di Jakarta, Senin (7/5).
Bertambahnya lapangan pekerjaan di AS diperkirakan pula akan mendorong peningkatan sehingga inflasi dapat terjadi. Di sisi lain, Reza mengatakan, perkiraan akan meningkatnya inflasi tentunya akan mendorong the Fed menaikan tingkat suku bunganya.
"Masih adanya kekhawatiran akan peningkatan inflasi telah mendorong perkiraan akan kenaikan tingkat suku bunga the Fed yang mana akan berimbas pada terapresiasinya USD. Sementara itu, sentimen dari dalam negeri dianggap belum cukup kuat signifikan untuk mengangkat rupiah," katanya menegaskan.
Reza berharap, kepanikan dapat mereda dan sentimen dari dalam negeri dapat lebih positif. Hal itu untuk menarik minat pelaku pasar terhadap rupiah sehingga pelemahannya dapat lebih tertahan. "Rupiah diestimasikan akan bergerak dengan kisaran pada kisaran support Rp 14.025 per dolar AS dan resisten Rp 13.987 per dolar AS," ujarnya.