REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, mengatakan kenaikan cukai rokok efektif mengurangi konsumsi rokok. "Cukai itu untuk mengendalikan konsumsi," kata Abdillah dalam workshop jurnalis "Dampak Buruk Cukai Rokok Rendah Terhadap Kesehatan Publik dan Keuangan Negara di Indonesia" yang diselenggarakan oleh AJI Jakarta, di Kota Bogor, Jawa Barat, Ahad (6/5).
Abdillah memaparkan mitos-mitos penghalangan kenaikan cukai rokok di hadapai para jurnalis yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia. Menurutnya, posisi negara terhadap tembakau sangat jelas, negara (eksekutif dan legislatif) seharusnya melindungi masyarakat dari terkapan kapitalis (terutama industri rokok). "Negara tidak boleh berselingkuh dengan bisnis rokok dalam menerkam masyarakat," katanya.
Oktober 2017 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyetujui kenaikan tarif cukai terbesar berada pada golongan sigaret putih mesin di kisaran 12 hingga 22 persen. Angka ini masih jauh di bawah rekomendasi WHO melalui kerangka kerja pengendalian tembakau atau FCTC yang mengamanatkan kenaikan cukai sampai 75 persen.
Menurut Abdillah kenaikan cukai Indonesia idealnya 50 persen. Dana dari cukai rokok dapat digunakan oleh pemerintah untuk program-program pemberdayaan petani tembakau, atau membiayai kesehatan masyarakat.
Belajar dari Filipina dan Thailand yang menaikkan cukai rokoknya lebih tinggi dari rekomendasi FCTC mampu mengelola dana tersebut untuk kesejahteraan masyarakatnya, melalui jaminan kesehatan.
Abdillah mengatakan kenaikan cukai rokok bukan satu-satunya penyebab melemahnya industri rokok dan terpuruknya petani tembakau. Ada beberapa faktor lainnya, seperti perubahan cuaca, perubahan harga tembakau yang tidak menentu, pembeli menentukan kualitas dan harga, bukan penjual, hama tanaman, dan kelebihan penawaran atau hasil panen tidak terserap.
"Menaikkan cukai rokok, penerimaan negara akan cukup meningkat. Rokok harus diberi cukai karena rokok menimbulkan kencanduan. Fungsi dari cukai adalah untuk membenani para perokok agar berhenti merokok," kata Abdillah.
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi (FEB) UI, Teguh Dartanto memiliki kajian tentang bagaimana rokok menjerat masyarakat untuk konsisten dalam kemiskinannya. "Rokok membuat orang miskin, konsisten miskin," katanya.
Ia juga melakukan kajian terkait prilaku merokok masyarakat Indonesia yang dikaitkan dengan stunting pada anak. Karena anak dari orang tua perokok akan menganggu tumbuh kembangnya, dari pada anak dari keluarga yang tidak merokok.
Sementara itu Julius Ibrani dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengungkap tentang intervensi industri rokik terhadap kebijakan pengendalian tembakau. Ia mengatakan kaitan rokok dengan HAM adalah, rokok mengandung zat adiktif yang ujungnya menimbulkan penyakit bahkan kematian. Karena merupakan zat adiptif, bagian dari HAM untuk melindungi masyarakat yang terdampak maupun penggunanya dengan pengawasan dan pengendalian.
"Ada aspek hukum dan HAM dalam industri tembakau. Regulasi tentang rokok di Indonesia punya sejarah panjang, salah satunya hilangnya pasal tentang zat adiktif dalam undang-undang tembakau," kata Julian.