REPUBLIKA.CO.ID, HULU SUNGAI SELATAN -- Petani rawa sebagian besar masih menanam varietas lokal seperti siam unus karena pemeliharaanya mudah dan tidak perlu input tinggi. Namun demikian, produktivitas padi lokal relatif rendah, hanya sekitar 2 ton per hektare dan umur tanamnya sekitar 7-9 bulan sehingga petani hanya bisa tanam sekali dalam setahun.
Sementara itu, varietas favorit, seperti Ciherang, Mekongga, dan Inpari, meskipun produktivitasnya tinggi di sawah irigasi, tapi hasilnya rendah bila ditanam di lahan rawa. Saat ini, petani rawa mulai beralih ke varietas Inpara (inbrida padi rawa) karena mereka yakin bahwa varietas ini produktivitas tinggi dan umurnya genjah sehingga dalam satu tahun bisa menanamnya dua kali.
Anggota Kelompok Tani Cinta Maju di rawa lebak di Desa Hamayung, Kecamatan Daha Utara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan Basran mengaku mampu menghasilkan 6,3 ton/ha gabah kering giling (GKG) dengan menggunakan Inpara.
“Dengan tanam Inpara, kantong saya semakin tebal,” ujar Basran, senang.
Kondisi yang sama dialami Darsono, anggota Poktan Sido Muncul di rawa pasang surut di Desa Karang Bunga, Kecamatan Mandastana, Kabupaten Barito Kuala. Menurut Darsono, menanam Inpara membawa berkah kehidupan untuk keluarganya. Ia pun mampu menghasilkan padi Inpara sekitar 4.5 ton/ha dan dapat menanamnya dua kali dalam setahun.
Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Profesor Dedi Nursyamsi mengatakan, pembatas utama budidaya padi di lahan rawa adalah kemasaman tinggi yang menyebabkan konsentrasi besi sangat tinggi, sehingga tanaman mudah keracunan. Selain itu, genangan air juga sering tinggi dan lama sehingga tanaman busuk dan mati.
“Padi Inpara sudah terbukti tahan masam, tahan keracunan besi, dan tahan genangan,” ujar Dedi.
Peneliti Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Ir Koesrini MS mengatakan, terjadi peningkatan pendapatan yang signifikan setelah petani menanam Inpara. Varietas lokal dengan produktivitas 2 ton/ha dan IP 100 hanya menghasilkan Rp 16 juta pada harga GKG Rp 8.000/kg.
“Inpara dengan produktivitas 6,3 ton per hektare dan IP 200 mampu menghasilkan sekitar Rp 57 juta apabila harga GKG Rp 4.500 per kilogram,” kata Koesrini.
Peneliti Balittra lainnya, Ir Yantirina MS menambahkan, petani rawa saat ini sudah banyak mengadopsi sistem surjan yang memadukan budidaya sawah (padi) dan darat (jeruk). Dari lahan daratnya yang ditanami jeruk, petani dapat penghasilan sekitar Rp 50 juta per hektare per tahun. Sedangkan dari lahan sawahnya yang menggunakan Inpara, petani mendapatkan Rp 57 juta/ha/tahun.
“Dengan demikian, maka pendapatan total petani di lahan rawa lebak sekitar Rp 107 juta per hektare per tahun,” kata Yantirina.
Dia melanjutkan, kepemilikan lahan sawah petani rawa berkisar antara 1,25-5.00 hektare atau rata-rata sekitar 2 hektare. Dengan demikian, dalam satu tahun petani bisa mencapai pendapatan sekitar Rp 214 jita atau Rp 18 juta/bulan.
“Pendapatan sebesar itu melampaui penghasilan seorang PNS,” ujar Yantirina.
Saat ini, Inpara berkembang pesat di Kabupaten Barito Kuala (Batola), Provinsi Kalimantan Selatan. Koesrini mengatakan, permintaan benih Inpara dari petani Batola sangat tinggi. Penyebabnya tak lain lantaran banyaknya jumlah transmigran asal Jawa di daerah tersebut.
“Warga transmigran menyukai beras pulen dari Inpara, sedangkan penduduk asli yang kebanyakan Suku Banjar menyukai beras pera dari padi lokal,” kata Koesrini. (Koesrini/Balitbangtan).