REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardojo, menyatakan, mata uang dolar AS kembali mengalami penguatan pada Senin (23/4). Setelah sebelumnya pada Jumat (20/4) kemarin menguat tajam terhadap semua mata uang dunia, termasuk rupiah, secara meluas (broadbased).
"Sama seperti yang terjadi di hari Jumat, penguatan dolar AS hari ini masih dipicu oleh meningkatnya yield US treasury bills mendekati level psikologis 3,0 persen dan munculnya kembali ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebanyak lebih dari tiga kali selama 2018," terang Agus Marto seperti tertulis dalam keterangan resmi yang diterima media, Selasa (24/4).
Agus menjelaskan, kenaikan yield dan suku bunga di AS itu sendiri dipicu oleh meningkatnya optimisme investor terhadap prospek ekonomi AS. Hal itu seiring berbagai data ekonomi AS yang terus membaik serta tensi perang dagang antara AS dan Cina yang berlangsung selama tahun 2018.
Kondisi tersebut menyebabkan semua mata uang negara maju kembali melemah terhadap dolar AS. Mata uang yang melemah antara lain negara Jepang -0,25 persen, Swiss -0,27 persen, Singapura -0,35 persen, dan Eropa -0,31 persen. "Dalam periode yang sama, mayoritas mata uang negara emerging market, termasuk Indonesia, juga melemah," imbuhnya.
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah (IDR) sesuai fundamentalnya, lanjutnya, Bank Indonesia telah melakukan intervensi baik di pasar valas maupun pasar Surat Berharga Negara (SBN) dalam jumlah cukup besar. Dengan upaya tersebut, rupiah yang pada Jumat sempat terdepresiasi sebesar -0,70 persen, pada Senin hanya melemah -0,12 persen.
Pelemahan rupiah juga lebih rendah dari depresiasi yang terjadi pada mata uang negara-negara emerging market dan Asia lainnya, seperti negara Filipina -0,32 persen, India -0,56 persen, Thailand -0,57 persen, Meksiko -0,89 persen, dan Afrika Selatan -1,06 persen. Agus menambahkan, gambaran serupa juga tampak dalam periode waktu yang lebih panjang.
Melalui upaya stabilisasi oleh Bank Indonesia, sejak awal April rupiah melemah -0,91 persen (mtd). Pelemahan tersebut lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain, seperti Thailand -1,04 persen, India -1,96 persen, Meksiko -2,76 persen, dan Afrika Selatan -3,30 persen. Selain itu, sejak awal 2018 Rupiah melemah -2,35 persen (ytd), juga lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain seperti Brasil -3,06 persen, India -3,92 persen, Filipina -4,46 persen, dan Turki -7,17 persen.
Agus menekankan, Bank Indonesia akan terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah. Tren pelemahan bisa dipicu oleh gejolak global seperti dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-Cina, kenaikan harga minyak, dan eskalasi tensi geopolitik terhadap berlanjutnya arus keluar asing dari pasar SBN dan saham Infonesia.
Juga tren pelemahan yang bersumber dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik seperti terkait kebutuhan pembayaran impor, utang luar negeri (ULN), dan dividen yang biasanya cenderung meningkat pada kuartal II. "Untuk itu, Bank Indonesia akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya," katanya.