REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terus melemah dalam beberapa waktu terakhir. Rupiah sudah mendekati level Rp 14 ribu per dolar AS.
Sejumlah kalangan menilai, kondisi eksternal, seperti rencana the Fed menaikkan kembali suku bunga, menjadi alasan mengapa rupiah terus tertekan. Lantas, apakah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini mencerminkan fundamental ekonomi RI?
Bank Indonesia (BI) kerap mengungkapkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tak sesuai dengan kondisi makro dalam negeri. Bank Indonesia tak segan untuk melakukan intervensi pasar. BI pun belum berniat untuk menaikkan suku bunga sebab kondisi dalam negeri yang positif.
"BI merasa Rp 13.800 per dolar AS itu level yang sudah cukup berlebihan," ujar Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi pada awal Maret lalu.
Pada 2016, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung soal mata uang dolar AS yang dianggap tak lagi tepat untuk menjadi tolok ukur. Sebab, menurut dia, yang paling pas adalah membandingkan dengan mata uang mitra dagang terbesar, dalam hal ini Cina.
Consultant Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi menilai, kalau hanya menggunakan kurs yuan sebagai tolok ukur, tidak masalah atau boleh saja. Namun, bila menggunakan Yuan menjadi pengganti dolar AS sebagai mata uang utama perdagangan internasional, menurut dia, saat ini belum bisa.
"Permasalahan utamanya di konvertabilitas yuan. Tidak semua negara di dunia menggunakan Yuan untuk transaksi perdagangan internasional. Bahkan, mata uang yen Jepang dan euro pun masih belum bisa menggantikan dolar AS sebagai mata uang utama dunia," ujar Eric saat dihubungi Republika.co.id, Senin (23/4).
Ia tidak memungkiri Cina merupakan negara partner dagang utama Indonesia. Namun, mata uang dolar AS masih merupakan mata uang utama dalam perdagangan internasional. "Untuk transaksi dengan Tiongkok bisa saja langsung dengan yuan yang dikenal pula dengan nama renmibi (RMB). Hal itu karena memang sudah ada bilateral swap agreement antara Bank Sentral Tiongkok serta Bank Indonesia, yang selain ditujukan untuk membantu jaga stabilitas sistem keuangan, juga bertujuan fasilitasi perdagangan bilateral," kata Eric menjelaskan.
Berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), posisi rupiah pada Senin pagi telah berada di Rp 13.894 per dolar AS. Makin merosot bila dibandingkan penutupan pekan lalu, Jumat (20/4), yakni di level Rp 13.804 per dolar AS.
Nilai tukar rupiah pun dibuka melemah terhadap dolar AS pada Spot Rupiah. Pelemahannya mencapai 15 poin atau 0,11 persen di level Rp 13.908 per dolar AS. Kemudian, pukul 10.00 WIB, mata uang Indonesia masih di zona merah, dengan penurunan 11 poin ke level Rp 13.904 per dolar AS.
Analis Binaartha Securities Reza Priyambada mengatakan, pernyataan Dovish dari Bank of England membuat pergerakan poundsterling Inggris atau GBP cenderung melemah. Hal itu pun memberikan kesempatan kepada kurs dolar AS untuk kembali melanjutkan pergerakan positifnya.
Di sisi lain, perkiraan adanya kenaikan tingkat suku bunga the Fed turut membuat laju dolar AS terapresiasi. "Akibatnya laju rupiah cenderung terkena dampak negatifnya hingga menyentuh batas psikologisnya. Selain itu, adanya penilaian, capital outflow akan terjadi seiring perbaikan ekonomi AS turut melemahkan rupiah," ujar Reza di Jakarta, Senin, (23/4).
Pelemahan yang terjadi pada rupiah, kata dia, cenderung diakibatkan adanya imbas dari pergerakan mata uang utama dunia. Sementara itu, dari dalam negeri cenderung minim sentimen positif yang dapat mengangkat laju rupiah secara signifikan.