REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan masih akan melemah dan bisa mencapai ke level 14 ribu per dolar AS pada akhir tahun. Ekonom Indef menilai hal itu mungkin terjadi karena belum ada sentimen positif dari dalam negeri.
Pada penutupan perdagangan Jumat (20/4) rupiah terpantau melemah 98 poin atau 0,13 persen di level Rp 13.893 per dolar AS, dibandingkan awal perdagangan yang berada di level Rp 13.795 per dolar AS. Hal terlihat berdasarkan data Bloomberg. Sementara kurs tengah Bank Indonesia rupiah ditutup pada level Rp 13.804 per dolar AS.
"Pelemahan nilai tukar rupiah diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir tahun 2018 dengan proyeksi kurs berada di atas Rp 14.000 per dolar AS," ujar Ekonom INDEF Bhima Yudhistira kepada Republika.co.id, Jumat (20/4).
Menurut Bhima, ada beberapa faktor yang membuat kurs rupiah melemah. Pertama, investor melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS Fed Fund Rate pada rapat FMOC tanggal 1-2 Mei mendatang. Spekulasi ini membuat capital outflow di pasar modal mencapai Rp7,78 triliun dalam 1 bulan terakhir.
"Kenaikan yield atau imbal hasil Treasury bond jelang rapat Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun," jelas Bhima.
Kedua, harga minyak mentah diprediksi naik lebih dari 75 dolar AS per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-Cina. Hal ini membuat inflasi jelang Ramadhan semakin meningkat karena harga BBM non subsidi (pertalite dan pertamax) menyesuaikan mekanisme pasar.
Inflasi dari pangan juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam 1 bulan terakhir.
Selain itu, permintaan dolar AS diperkirakan naik pada kuartal II 2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. "Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengkonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar," jelasnya.
Baca juga, Rupiah Terseok, Akankah Bisa Bangkit?
Sementara itu defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar diperkirakan hingga 2,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Selain karena keluarnya modal asing, juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi menjelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik.
Adapun mengenai pertumbuhan ekonomi, pada kuartal I 2018 diperkirakan tidak akan mencapai 5,1 persen. Menurut Bhima hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah, terbukti dari Indeks Keyakinan Konsumen dan data penjualan ritel yang turun pada kuartal 1.
"Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4 persen," kata Bhima.