REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro menyebut Indonesia harus memberikan insentif berupa pemotongan pajak dengan nilai yang lebih atraktif. Hal itu bisa dilakukan jika ingin mendorong lebih banyak lagi kegiatan riset industri.
Dengan aturan pengurangan pajak yang ada saat ini, Bambang mengatakan, pemerintah hanya bisa memberikan insentif paling banyak 100 persen. Namun, ia menilai, jumlah tersebut masih terlalu kecil. Sebab, negara pesaing rata-rata sudah memberikan insentif berupa pemotongan pajak bagi perusahaan yang melakukan kegiatan riset sebesar 200 persen.
"Kalau 100 persen tidak akan menarik, karena pesaing kita sudah 200 persen," kata Bambang, di Hotel Shangri-la Jakarta, Selasa (17/4).
Jika Indonesia hanya bisa memberikan insentif untuk riset 100 persen, Bambang memperkirakan yang akan terjadi adalah perusahaan membangun fasilitas risetnya di Singapura. Sementara, pabrik tempat produksinya baru di Indonesia.
Kementerian Perindustrian sendiri mengusulkan besaran insentif pajak 300 persen untuk kegiatan penelitian dan pengembangan di industri. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara menjelaskan, apabila perusahaan mengeluarkan dana Rp 100 miliar untuk riset, maka pemerintah akan memberikan potongan pengurangan pajak sebesar tiga kali lipat dari dana riset yang telah dikeluarkan. Skema insentif ini sendiri dinamakan super deduction tax.
Namun, ada syarat tertentu yang harus dipenuhi perusahaan apabila ingin mendapat insentif pajak dari kegiatan inovasi. Ngakan menjelaskan, riset yang dilakukan harus mendukung peningkatan daya saing produk mereka, memacu ekspor, serta memberi dampak besar pada perekonomian.