REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- BNI Syariah (BNIS) berencana meluncurkan produk piutang baru bagi nasabah yang ingin mengalihkan pembiayaannya dari bank lain ke BNIS (takeover). Nantinya produk tersebut menggunakan akad hawalah.
"Jadi produk Piutang Hawalah ini untuk takeover. Misal, nasabah sebelumnya punya kredit di bank konvensional lalu ingin pindah ke bank syariah bisa menggunakan akad hawalah," ujar Pemimpin Divisi Keuangan BNIS Wahyu Avianto kepada wartawan di Jakarta, Senin, (16/4).
Tidak hanya takeover pembiayaan dari bank konvensional, BNIS menerima pula takeover dari bank syariah lain. Hanya saja, Wahyu menjelaskan produk tersebut lebih ditujukan bagi masyarakat yang ingin pindah dari bank konvensional ke bank syariah.
"Kebutuhan seperti ini ada di masyarakat. Potensinya sangat besar karena banyak masyarakat yang ingin hijrah ke bank syariah. Maka kita harus siapkan solusinya dengan akad itu," jelas Wahyu.
Nantinya, kata dia, nasabah bisa melakukan pengalihan pembiayaan apa pun. Dari mulai mobil, rumah, bahkan takeover pembiayaan modal kerja serta investasi.
Wahyu mengungkapkan, saat ini perseroan sudah mengajukan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait Piutang Hawalah. Hanya saja kini masih proses pembahasan.
Pasalnya, ia menuturkan, aturan mengenai akad hawalah belum ada di OJK. "Jadi misalnya, nasabah beli rumah di bank konvensional atau dari bank syariah lain, namun mungkin karena bandingkan margin, dia jadi ingin pindah ke BNIS. Di sini kita fasilitasi dengan akad hawalah, lalu waktu kita ambil alih tadi berarti mengeluarkan uang, di dalam pencatatan bank, munculnya seharusnya piutang hawalah tapi saat ini secara regulasi belum muncul di OJK. Kita lagi diskusi dengan OJK, kira-kira nantinya memunculkannya seperti apa," ujar Wahyu.
Dia berharap, dalam waktu dekat, bisa disetujui OJK sehingga produk tersebut bisa segera diluncurkan ke masyarakat. "Kita harap semester pertama tahun ini, produk sudah bisa kita luncurkan walau nanti dengan beberapa pendekatan," tuturnya.
Beberapa pendekatan di antaranya, kata dia, pencatatan masih sebagai piutang dengan akad lain karena belum dimungkinkan menggunakan akad hawalah. "Jadi sifatnya darurat sampai kemudian peraturan OJK dan sebagainya menyesuaikan sehingga kita bisa melakukan pencatatan lebih sesuai," tambahnya.
Ia pun menegaskan, BNIS juga telah melalui diskusi dengan Dewan Pengawas Syariah mengenai Piutang Hawalah. Hal itu berarti, segala kegiatan yang bank lakukan sudah berdasarkan persetujuan dari Dewan Pengawas Syariah.
Sebagai informasi, laba anak usaha PT Bank Negara Indonesia (BNI) tersebut tumbuh 10,6 persen di kuartal akhir 2017. Pertumbuhan masih seputar pembiayaan, peningkatan imbal jasa, dan rasio dana murah (CASA).
Dengan begitu menjadi Rp 306,68 miliar dari Rp 277,37 miliar di akhir 2016. Hal itu ditopang pertumbuhan pembiayaan sebesar 15,14 persen menjadi Rp 23,60 triliun di akhir 2017 dari 20,49 triliun di akhir 2016.
Sementara di dana pihak ke tiga (DPK) di akhir 2017 tumbuh 21,2 persen menjadi Rp 29,38 triliun dari Rp 24,23 triliun di akhir 2016. Sebesar 51,60 persen dari DPK 2017 merupakan CASA yang naik dari 47,60 persen pada akhir 2016.