REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pengurangan pasokan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dirasakan di Sumatra Barat. Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Sumbar Ridwan Hosen menjelaskan, pengurangan kuota BBM jenis Premium merupakan kebijakan badan usaha yakni Pertamina.
Ia menilai pengurangan kuota Premium menjadi dilema bagi pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Karena secara hukum disebutkan bahwa Premium merupakan BBM nonsubsidi. Namun di sisi lain, ada pengurangan kuota dari 12,5 juta kiloliter (kl) pada tahun 2017 lalu menjadi 7,5 juta kl pada 2018 ini, untuk distribusi di luar Jawa, Bali, dan Madura (Jamali).
Kuota untuk non-Jamali tersebut, lanjut Ridwan, juga dirasakannya di Sumatra Barat. Meski begitu belum ada data rinci berapa pasokan Premium di Sumbar saat ini. "Tapi //legal standing nya dibuat, BBM nonsubsidi penugasan. Logikanya kalau tidak ada subsidi lagi kenapa dibatasi," kata Ridwan, Senin (9/4).
Bagi pengusaha SPBU, Ridwan mengatakan, pengurangan pasokan BBM jenis Premium ikut berimbas pada pendapatan usaha. Bila tidak ada Premium, lanjutnya, maka jumlah BBM yang dibeli masyarakat juga ikut berkurang karena sebagian beralih ke BBM jenis lain seperti Pertalite.
Ia memberi contoh, bila sebelumnya banyak masyarakat membeli BBM dengan harga Rp 100 ribu memperoleh 16 liter Premium, setelah beralih ke Pertalite konsumen hanya mendapat 13 liter dengan harga yang sama. "Kalau jangka pendek tidak berdampak. Tapi kalau jangka panjang baru terasa," katanya.
Sebetulnya, penugasan Pertamina untuk memastikan ketersediaan BBM Khusus Penugasan ditetapkan melalui Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014. Dalam beleid tersebut, Premium ditetapkan sebagai BBM Khusus Penugasan yang tidak lagi mendapat subsidi dari pemerintah namun harga jualnya diatur dan ditetapkan pemerintah. Saat ini harganya ditetapkan sebesar Rp 6.550 per liter untuk di wilayah Jamali dan Rp 6.450 untuk di luar Jamali, termasuk Sumatra Barat.