REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Porsi kepemilikan asing dalam Surat Berharga Negara (SBN) yang dapat diperdagangkan mencapai 40 persen pada akhir 2017. Hal itu membuat sejumlah ekonom mewanti-wanti pemerintah lantaran rentan menimbulkan masalah yakni arus dana keluar atau capital outflow. Meski begitu, pemerintah menilai aksi jual asing juga bisa berdampak positif.
"Ini juga biar orang jangan takut, ya. Kalau semakin banyak dimiliki asing itu masalahnya apa? Capital outflow. Apa yang akan terjadi? Begitu dia jual, yield (imbal hasil) kita akan naik. Sebetulnya buat investor domestik itu peluang," kata Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Scenaider Siahaan di Jakarta, Selasa (3/4).
Scenaider mengatakan, kenaikan imbal hasil bagi investor adalah kenaikan keuntungan. Oleh karena itu, menurutnya, saat ini investor berpikir ulang untuk melepas kepemilikan obligasi negara tersebut.
"Investor itu jadi berpikir rugi juga, ya, kalau dijual. Akhirnya, sekarang mereka tidak jual. Karena kalau dia jual maka rugi, orang lain yang dapat untung," ujarnya.
Meski begitu, Scenaider mengaku pemerintah juga telah menyiapkan mitigasi apabila terjadi reversal. Caranya yakni dengan meminta BUMN untuk membeli kepemilikan SBN tersebut.
"Kemudian kalau masih masif, ya, nanti pemerintah juga beli, Bank Indonesia beli, BUMN yang masuk bond stabilitation framework itu beli," ujarnya.
Scenaider menyimpulkan, risiko untuk pemerintah jika terjadi kenaikan imbal hasil masih relatif aman. Ini karena ketika imbal hasil naik, investor di pasar akan segera membelinya.
Scenaider berharap, seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, porsi kepemilikan domestik dalam SBN bisa terus meningkat. "Suatu saat kalau orang Indonesia makin kaya. Saving kita makin kuat, mobilisasi dana domestik kita makin kuat untuk membiayai pembangunan, nanti saya yakin orang Indonesia yang akan beli itu semua. Jadi biarkan saja secara alami," kata Scenaider.