Selasa 27 Mar 2018 20:54 WIB

Parlemen Uni Eropa Apresiasi Pengelolaan Sawit Indonesia

Indonesia akan menjadi negara terdepan dalam agenda perubahan iklim dunia.

Rep: EH Ismail/ Red: Hiru Muhammad
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar memimpin delegasi Indonesia bertemu dengan tiga elemen penting Uni Eropa, di Brussel, Belgia, Selasa (27/3)..
Foto: Dok Pri.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar memimpin delegasi Indonesia bertemu dengan tiga elemen penting Uni Eropa, di Brussel, Belgia, Selasa (27/3)..

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Di tengah agenda pertemuan Working Group Komisi Eropa bidang Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar memimpin delegasi Indonesia bertemu dengan tiga elemen penting Uni Eropa, di Brussel, Belgia.

Bersama dengan unsur KLHK, Kemenko Perekonomian, Kementerian Pertanian, BPDP, serta KBRI, secara marathon Siti bertemu dengan Wakil Presiden Parlemen Uni Eropa, Heidi Hautala, Komisioner Uni Eropa bidang lingkungan, Karmenu Vella, dan Ketua Persahabatan Parlemen Indonesia-Uni Eropa, Ana Gomes.

Kesempatan itu dimanfaatkan Siti Nurbaya untuk menjelaskan perspektif lingkungan terkait dengan persoalan sawit pascaresolusi sawit parlemen Uni Eropa. Setelah mendapatkan penjelasan dari Menteri LHK Siti Nurbaya, Wapres UE Heidi Hautala mengapresiasi berbagai upaya Indonesia untuk memperbaiki pengelolaan kelapa sawit di Indonesia, terutama dalam aspek lahan.

“Selain itu, dia juga melihat banyak kemajuan dalam hal penanganan lingkungan, termasuk sampah plastik. Namun begitu, masih ada beberapa pekerjaan rumah, seperti monitoring independen SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, Red),” kata Siti dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (27/3).

Hal senada juga disampaikan Komisioner Karmenu Vella yang membawahi bidang lingkungan. “Dia menghargai berbagai kemajuan yang dilakukan Pemerintah Indonesia. Namun juga mengatakan kiranya pengambilan keputusan kebijakan impor terkait Uni Eropa untuk terus diinformasikan,” kata Siti.

Siti melanjutkan, kedua pihak menghargai kerja sama pengembangan SVLK. Skema pertama yang berjalan dalam kerangka EU Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT). Skema tersebut akan diterapkan untuk Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sedang disempurnakan dan akan disahkan dalam sebuah Perpres pada akhir 2018.

Mengenai hal itu, Wakil Presiden Parlemen Uni Eropa menyarankan untuk mengintegrasikan ISPO dengan skema internasional Responsible Sustainable Palm Oil (RSPO). “Penerapan SVLK pada ISPO merupakan hal yang baik, karena EU mementingkan transparansi,” ujar Hautala.

Ia menjelaskan, sejak Kamis (22/3) lalu, dokumen proses pembahasan antara parlemen, dewan dan komisi Uni Eropa mengenai rencana pengenaan tarif kelapa sawit terbuka untuk publik sesuai perintah pengadilan. Hal itu memudahkan Indonesia untuk mencermati dan menyampaikan respons.

Kebijakan Pemerintah Indonesia

Di hadapan para utusan, Siti Nurbaya menegaskan kembali komitmen Pemerintah Indonesia dalam menekan angka deforestasi dan penguatan sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan (Indonesia Sustainability Palm Oil/ISPO).

Indonesia, kata Siti, akan menjadi negara terdepan dalam agenda perubahan iklim dunia. Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo juga telah dikeluarkan berbagai kebijakan mengenai tata kelola hutan berkelanjutan dan perdagangan hasil hutan. “Ini merupakan tahun kedua penerapan FLEGT untuk kayu Indonesia. Semuanya berjalan baik dan menjadi contoh baik untuk seluruh dunia,” kata Siti.

Indonesia merupakan negara pertama dan baru satu-satunya yang memperoleh lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) dari Uni Eropa. Hal itu merupakan bentuk pengakuan internasional terhadap legalitas kayu Indonesia yang telah menerapkan SVLK. SVLK adalah sistem perdagangan kayu dengan memperhatikan prinsip legalitas, traceability, dan sustainability yang melibatkan multistakeholder dalam penyusunannya.

Siti juga mengungkapkan, angka deforestasi di Indonesia saat ini telah menurun secara signifikan, dari 1,09 juta hektare menjadi 0,61 juta hektare. Pada 2020 diproyeksikan akan menurun menjadi 0,45 juta hektare dan 0,35 juta hektare pada 2030.

Pada 2017, deforestasi bahkan sudah turun menjadi 497 ribu hektare. Artinya, sudah lebih dekat ke proyeksi 2020. “Ini hasil dari serangkaian tindakan, seperti moratorium ijin baru di lahan gambut dan hutan primer, penegakan hukum, tata pemerintahan yang baik, perhutanan sosial, FLEGT, tinjauan lingkungan setrategis, dan lainnya,” kata Siti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement