REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Harga minyak mentah diperkirakan naik pada Jumat (9/3) karena pasar saham Asia menguat setelah ada kabar rencana pertemuan pemimpin Korea Utara Kim Jong-u dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Keduanya kemungkinan akan bertemu pada Mei.
Menjelang pertemuan yang rencananya dilakukan di Gedung Putih, Kim Jong-un pun berjanji untuk tidak melakukan uji coba nuklir atau rudal lagi. Hal tersebut disampaikan Kepala Keamanan Nasional Korea Selatan pada Kamis (8/3) malam.
Harga minyak mentah Brent LCOc1 berada pada 63,95 dolar AS per barel, naik 34 sen atau 0,5 persen dari penutupan sebelumnya. Minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) CLc1 berada di 60,39 dolar AS per barel, naik 27 sen atau 0,45 persen. WTI turun lebih dari 2 persen pada sesi sebelumnya.
Di luar geopolitik, pasar minyak dipengaruhi produksi AS yang melonjak. Produksi AS telah meningkat sebesar 23 persen sejak pertengahan 2016, menjadi 10,37 juta barel per hari. Volume produksi tersebut lebih besar dari eksportir utama minyak, Arab Saudi. Sedangkan Rusia masih berada di atas AS, dengan memompa hampir 11 juta barel per hari.
"Sepertinya hanya masalah waktu sebelum AS menjadi produsen minyak terbesar di dunia," kata ekonom energi senior Bank Belanda ABN Amro, Hans van Cleef.
Tidak seperti produsen Timur Tengah yang produksinya sebagian besar ditentukan perusahaan minyak milik negara, produsen AS mengebor dan menjual murni berdasarkan pada ekonomi. Jika harga tetap pada level saat ini atau naik lebih jauh, pengebor AS akan meningkatkan produksi. Sebaliknya, jika harga turun maka produksi AS pun akan turun.
"Korelasi antara produksi minyak AS dan harga minyak akan tetap besar," kata van Cleef.
Seperti halnya produksi, harga minyak akan tergantung pada permintaan. Menurutnya, permintaan global akan terus tumbuh sebesar 1,5 juta barel per hari di 2018 dan 2019. "Ini akan memberi cukup ruang bagi produsen minyak AS untuk meningkatkan produksi," kata dia.
Begitu juga untuk Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu-sekutunya untuk meminimalkan pemotongan produksi jelang akhir 2019. OPEC yang didominasi Timur Tengah dan Rusia sejak 2017 telah berupaya menahan produksi guna menjaga harga.