Sabtu 03 Mar 2018 19:27 WIB

Pertanian Organik, Bukan Pertanian Minus Teknologi

Di Taiwan, penghasilan petani mencapai Rp 2,7 miliar per tahun.

Red: EH Ismail
Pertanian organik di Taiwan.
Foto: Humas Balitbangtan.
Pertanian organik di Taiwan.

Pola hidup sehat dan bertani organik yang sedang tren di Indonesia ternyata juga telah menjadi tren dunia. Penyababnya tak lain karena kesadaran hidup sehat dan bertani ramah lingkungan di dunia terjadi hampir bersamaan.

“Bedanya, di Indonesia sistem pertanian organik belum bisa di-scale-up menjadi modern,” kata kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Pertanian, Prof. Dr. Ir. Dedi Nursyamsi, M.Agr.

Salah satu negara yang telah berhasil mentransformasi pertanian organik menjadi industri modern adalah Taiwan. Petani padi organik di I-Lan County, Mr Chang, mengatakan, petani di daerahnya dapat meraup pendapatan kotor sekitar Rp 2,7 miliar per tahun dari 10 hektare lahan yang dimilikinya.

Chang yang merupakan ayah dua anak mengaku dapat memanen padi organik sebanyak 7 ton per hektare dan rendemen gabah ke beras sekitar 60 persen. Dengan harga beras 135 New Taiwan Dolar (NT$) per kilogram (1 NT$ = Rp 475), maka Chang bisa memperoleh penghasilan yang jauh lebih tinggi daripada rata-rata petani di Indonesia. Padahal, Chang hanya bertani sekali setahun karena lahannya tergenang saat musim hujan.

Pendapatan tersebut belum termasuk keuntungan dari limbah. Chang mengolah jerami menjadi pelet dan sekam menjadi biochar. “Keduanya menjadi sumber energi pengering gabah,” kata Chang. Dari penggilingan, Chang juga memperoleh dedak dan bekatul yang bisa dijual untuk pakan ternak itik.

Taiwan juga unggul dalam pertanian organik sayuran daun seperti di Bade, Taoyuan City. Di sana, para petani berbisnis sayuran daun organik berumur pendek, seperti pak choi, seledri, dan sawi.

Menurut manager Bade Farmers' Association, Mr Lee, semua produk organik mendapat pengawasan sangat ketat. Semua benih yang akan digunakan diuji laboratorium terlebih dahulu kandungan residu pestisida atau polutan seperti logam berat. Demikian pula tanah dan air harus bebas  cemaran.

“Konsumen berani beli mahal karena yakin produk organik aman dan sehat,” kata Lee.

Ahli hortikultura dari Council of Agriculture (CoA), Dr Tsai,  mengatakan, CoA selalu mendampingi petani berbisnis pertanian organik. CoA menyediakan informasi pasar dan berbagai jenis pestisida yang dilarang serta membina petani langsung di lapangan.

Sebut saja upaya perlindungan dari serangan hama dan penyakit. Petani juga didampingi menanam sayuran organik menggunakan screen house berukuran 8 m x 40 m yang dilengkapi sprincle irrigation.  

Dengan demikian, petani kini mahir membungkus buah dengan kain atau kertas agar produk berkualitas. Bila tanah tercemar mikroba pathogen, petani menjemur tanah tersebut beberapa hari hingga dipastikan bahwa patogen mati.

Menurut Dedi, terdapat tiga hal menonjol sukses Taiwan bertani organik. Pertama, sistem korporasi berjalan baik. Petani bekerja tim pada kelompok produksi dalam wadah besar asosiasi. Dengan begitu, petani terlibat bisnis pertanian mulai hulu (produksi) hingga pemasaran.

Kedua, semua tahap produksi menggunakan alat mesin pertanian. Dengan demikian proses produksi cepat dan efisien serta menghasilkan produk yang bermutu. “Organik bukan berarti minus teknologi, ini anggapan salah. Itu bertani purbakala,” ujar Dedi.

Ketiga, peran pemerintah sangat signifikan yang dicirikan dengan kehadiran dalam desah napas petani. CoA membangun infrastruktur, membuat regulasi yang menguntungkan petani, memberi informasi pasar,  dan memberi pinjaman kepada petani dengan bunga rendah hingga nol.

Adapun peran lembaga riset menggasilkan inovasi teknologi yang benar-benar diperlukan petani. Akhirnya, ada penyuluh tangguh yang selalu dampingi petani dalam setiap tahapan produksi. (DN/Balitbangtan)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement