Rabu 28 Feb 2018 20:59 WIB

Mengintip Cara Sukses Bertani Taiwan

Pendapatan petani sayuran di Taiwan jauh melampaui orang kantoran.

Red: EH Ismail
Lahan pertanian di Taiwan.
Foto: Humas Balitbangtan.
Lahan pertanian di Taiwan.

Taiwan punya corak usaha tani yang berbeda dengan negara lain dalam memajukan sektor pertanian. Hal inilah yang menjadi alasan sejumlah delegasi pertanian dari Indonesia mengunjungi negara tersebut.

“Di Taiwan, tidak ada middle-man yang mengambil untung dari usaha tani,”  kata General Manager Wu-Feng Farmers' Association, Ching-Chien Huang, saat menjawab pertanyaan Tim Delegasi Indonesia yang berkunjung ke Taiwan, Rabu (28/2).

Menurut Ching Chien, peran dari middle-man yang menjadi perantara digantikan oleh asosiasi petani. “Tidak ada calo. Semua pedagang yang bergerak merupakan anggota asosiasi sehingga keuntungannya menjadi milik semua anggota yang terdiri dari petani hingga pedagang,” kata Ching Chien. Dalam asosiasi setiap anggotanya bekerja keras, tekun, ulet, dan kompak dalam kerja sama.

Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Dedi Nursyamsi, mengatakan, para delegasi yang berkunjung ke Taiwan mengambil banyak pelajaran penting dari cara bertani di negara tersebut. “Khususnya soal aspek kerja sama,” kata dia.

Dedi mengatakan, aspek kerja sama merupakan hal yang paling sulit ditemukan di negara lain, termasuk di Tanah Air. “Bekerja sama dalam tim yang besar secara kompak, sinergis, terpadu, dan sistematis belum menjadi budaya kita,” ujar Dedi.

Dia menceritakan, di Taiwan, terdapat Council of Agriculture yang membentuk, membina, dan membimbing Asosiasi Petani yang mirip dengan gabungan kelompok tani atau gapoktan di Indonesia. Asosiasi ini dibentuk mulai dari tingkat kecamatan (sub district), kabupaten (district), dan pusat (nasional).

Di bawah Asosiasi Petani, terdapat berbagai kelompok produksi, seperti kelompok produksi padi, kelompok produksi sayur-sayuran, kelompok produksi buah-buahan, dan lain-lain. “Tergantung potensi daerah masing-masing,” kata Dedi.

Asosiasi Petani di Taiwan juga mendapat bimbingan dari Research dan Extention Center di bawah Council of Agriculture, sehingga sistem usaha pertaniannya berbasis ilmiah.  

Wu-Feng Farmer' Association di Taichung, misalnya, berbisnis komoditas padi. Mereka memiliki berbagai jenis usaha dengan aset yang sangat besar, antara lain koperasi, toko, penggilingan padi, hingga pabrik minuman beralkohol asal padi untuk sake, perbankan, dan asuransi. Setiap unit usaha dikelola tenaga profesional.

Berbeda lagi dengan bisnis yang ada di Bade, Kota Taoyuan. Asosiasi Petani di Taoyuan lebih banyak bergerak di komoditas sayuran. Di bawah Asosiasi Petani ini, terdapat berbagai kelompok produksi sayuran, utamanya sayuran daun berumur pendek, seperti pak choi, seledri, sawi, dan lain-lain.

Semua tahapan bisnis komoditas sayuran di Bade dikelola oleh Bade Farmers' Association yang sahamnya milik petani. Kelompok produksi yang terdiri dari 10-20 orang petani fokus memproduksi sayuran, mulai dari pengolahan tanah, pengairan, penanaman, pemeliharaan, hingga panen. Selanjutnya, petani dari kelompok produksi menjual hasil usahanya kepada Asosiasi.

Beberapa hari sebelum panen, Asosiasi melakukan uji laboratorium terhadap kualitas produk, antara lain uji residu pestisida dalam sayuran. “Di Taiwan, uji kualitas produk sayuran sangat ketat. Ini penting untuk menjaga kepercayaan konsumen,” kata Manager Bade Farmers' Association, Mr Lee.

Apabila produknya lolos uji laboratorium, maka produknya masuk kelompok sortir dan pengepakan. “Sortir dan pengepakan ini sangat penting agar konsumen mendapatkan produk yang berkualitas,” kata Ming-Hsin Lai, ahli agronomi dari Taiwan Agricultural Research Institute.

Selanjutnya, Asosiasi akan menjual produk petani kepada konsumen domestik maupun ekspor. Dengan pola seperti itu, bisnis sayuran di Taiwan sangat menguntungkan. “Pendapatan petani sayuran jauh melampaui orang kantoran,” kata Lee.

Menurut Dedi, kerja sama ala petani Taiwan  mirip Corporate Farming yang akan dikembangkan di Karawang. “Sistem di Taiwan yang sudah menjadi perilaku (behavior) atau kebiasaan (custom) tersebut akan dikembangkan di Karawang sebagai model,” kata Dedi. (DN/Balitbangtan)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement