REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyatakan, potensi industri film di Tanah Air sangat besar untuk meningkatkan ekonomi kreatif. Sayangnya, film lokal dinilai masih kekurangan layar, sehingga film itu tidak bisa diputar secara maksimal.
"Film Dilan misalnya, kalau semua layar atau studio di bioskop tayangkan itu dan tidak bersaing dengan film luar negeri, mungkin penontonnya sudah sampai 10 juta. Presiden saja nonton Dilan," ujar Kepala Bekraf Triawan Munaf kepada wartawan, di Jakarta, Senin, (26/2).
Meski begitu, Triawan menyebutkan, jumlah penonton di Indonesia setiap tahun tetap naik signifikan. Pada 2016, tercatat hanya 16 juta penonton bioskop namun di akhir 2017 sudah mencapai 42 juta.
"Kenaikannya sudah luar biasa tinggi. Itulah kenapa saya buka investasi asing, karena kita kekurangan layar. Tadinya saat Bekraf baru berdiri, ada 1.100 layar sekarang sudah ada 1.500 layar," tutur Triawan.
Ia berharap, dengan adanya investasi asing, semakin banyak bioskop di kota-kota kecil di Indonesia. Dengan begitu jumlah layar bisa lebih banyak.
Tahun ini Bekraf pun mengunggulkan tiga sektor yaitu mode, kuliner, dan kriya atau kerajinan tangan. Ada pula subsektor yang diunggulkan yakni musik, film, serta aplikasi.
Wakil Kepala Bekraf Ricky Joseph Pesik mengatakan, tiga subsektor tersebut memiliki efek multiplier sangat besar di masyarakat. Hanya saja kontribusinya terhadap PDB baru sekitar 0,9 persen.
"Untuk film misalnya, masih di bawah dua persen (kontribusi ke PDB), kecil sekali. Hal itu karena metode penghitungan BPS (Badan Pusat Statistik) ke unit usaha, nggak mengikutkan multiplier effect. Maka kontribusi film bahkan lebih kecil dari seni pertunjukkan dan penerbitan," tuturnya.
Lebih jelas, kata dia, kontribusi film terhadap PDB sebesar 0,17 persen. Meski begitu, film menjadi subsektor dengan pertumbuhan tertinggi kedua, tahun lalu tumbuhnya mencapai 10,9 persen. "Di posisi pertama, subsektor yang tumbuh tertinggi yaitu desain komunikasi visual," tambahnya.