REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal IV 2017 mencatatkan surplus sebesar 1 miliar dolar AS. Surplus tersebut ditopang oleh transaksi modal dan finansial yang mencatat surplus cukup besar, terutama bersumber dari investasi langsung dan investasi portofolio.
Sementara itu, defisit transaksi berjalan tetap terkendali dalam batas yang aman. Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir Desember 2017 meningkat menjadi 130,2 miliar dolar AS, tertinggi dalam sejarah.
Cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai kebutuhan pembayaran impor dan utang luar negeri pemerintah selama 8,3 bulan dan berada di atas standar kecukupan internasional. "Surplus transaksi modal dan finansial ditopang oleh optimisme terhadap prospek ekonomi domestik dan menariknya imbal hasil keuangan domestik," terang Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia, JunantoHerdiawan, melalui siaran pers, Jumat (9/2).
Junanto menjelaskan, surplus transaksi modal dan finansial pada kuartal IV 2017 tercatat sebesar 6,5 miliar dolar AS, terutama bersumber dari surplus investasi langsung dan investasi portofolio. Namun, surplus transaksi modal dan finansial tersebut lebih rendah dibandingkan surplus pada kuartal sebelumnya.
"Lebih rendahnya surplus pada kuartal IV 2017 disebabkan oleh menurunnya surplus investasi langsung, seiring denganoutflow investasi langsung di sektor migas, dan menurunnya surplus investasi portofolio sebagai dampak keluarnya dana asing dari instrumen surat berharga berdenominasi rupiah sehubungan dengan adanya ketidakpastian dari sektor eksternal pada awal kuartal IV 2017," jelasnya.
Bank Indonesia menilai, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) masih terkendali dalam batas yang aman meski mengalami peningkatan dibanding kuartal sebelumnya. CAD pada kuartal IV 2017 tercatat sebesar 5,8 miliar dolar AS atau 2,2 persen dari PDB.
CAD tersebut lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 4,6 miliar dolar AS atau 1,7 persen dari PDB. Peningkatan defisit tersebut disebabkan oleh penurunan surplus neraca perdagangan barang yang disertai peningkatan defisit neraca jasa.
Lebih rendahnya surplus neraca perdagangan barang bersumber dari kenaikan impor, seiring menguatnya kebutuhan domestik untuk investasi dan kegiatan produksi, yang melampaui kenaikan ekspor. "Sementara itu, kenaikan defisit neraca jasa terutama disebabkan oleh meningkatnya defisit jasa transportasi sejalan dengan kenaikan impor barang," imbuhnya.
Secara keseluruhan tahun, NPI 2017 mencatat surplus yang relatif besar dengan defisit transaksi berjalan yang terus membaik dan terkendali di bawah 2,0 persen dari PDB. Surplus NPI 2017 tercatat sebesar 11,6 miliar dolar AS.
Surplus tersebut ditopang oleh surplus transaksi modal dan finansial yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, terutama dalam bentuk investasi langsung dan investasi portofolio. Hal itu sejalan dengan membaiknya persepsi investor terhadap prospek perekonomian domestik.
Sementara itu, defisit transaksi berjalan tahun 2017 tercatat sebesar 17,3 miliar dolar AS atau 1,7 persen dari PDB. CAF tersebut lebih rendah dibandingkan defisit tahun sebelumnya yang sebesar 1,8 persen dari PDB.
"Perbaikan defisit transaksi berjalan tersebut bersumber dari peningkatan surplus neraca perdagangan nonmigas di tengah meningkatnya impor migas, defisit neraca jasa terkait defisit jasa transportasi, dan neraca pendapatan primer terutama untuk pembayaran repatriasi hasil investasi asing," jelasnya.
Junanto menambahkan, perkembangan NPI pada 2017 secara keseluruhan menunjukkan terpeliharanya keseimbangan eksternal perekonomian sehingga turut menopang berlanjutnya stabilitas makroekonomi.
Bank Indonesia akan terus mewaspadai perkembangan global, khususnya yang dapat memberikan risiko bagi kinerja neraca pembayaran secara keseluruhan antara lain terkait normalisasi kebijakan moneter di beberapa negara maju, tekanan geopolitik di beberapa kawasan, dan kenaikan harga minyak dunia.
"Bank Indonesia meyakini kinerja NPI akan semakin baik didukung bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta penguatan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, khususnya dalam mendorong kelanjutan reformasi struktural," pungkasnya.