Rabu 07 Feb 2018 18:24 WIB

Indef: Tantangan Berat untuk Dongkrak Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga yang stagnan pada 2017 jadi peringatan pada 2018.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nur Aini
Warga membeli kebutuhan rumah tangga di Pasar Swalayan, Jakarta, Rabu (5/7).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Warga membeli kebutuhan rumah tangga di Pasar Swalayan, Jakarta, Rabu (5/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai konsumsi rumah tangga sepanjang 2017 mengalami stagnasi. Dia mengatakan pemerintah harus fokus mencari solusi untuk menghadapi konsumsi rumah tangga pada tahun ini.

Dia bahkan menilai konsumsi rumah tangga sepanjang 2017 yang hanya 4,95 persen bisa menjadi lampu kuning kelanjutannya pada 2018. "Sangat mungkin (bisa menjadi lampu kuning untuk konsumsi rumah tangga 2018). Sebab tahun depan itu tantangannya berat," kata Eko di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (7/2).

Meskipun begitu, Eko melihat pertumbuhan konsumsi rumah tangga 4,95 persen sebetulnya tidak akan bergerak terlalu jauh atau akan tetap mengalami stagnasi. Dia menilai, tren konsumsi rumah tangga Indonesia tidak akan jauh dari lima persen.

"Ketika pertumbuhan ekonomi misal naik ke 6,5 persen, ya konsumsi rumah tangga paling hanya di sekitar 5,5 persen. Begitu sekarang turun ke 5,07 persen yang sekarang konsumsi rumah tangga hanya di kisaran 4,95 persen," kata Eko.

Eko menduga hal itu terjadi karena sebagian masyarakat secara umum mengalami penurunan daya beli. Hal itu terjadi karena adanya beberapa kenaikan harga barang knsumsi, terutama beras.

Sepanjang 2017, kata Eko, terdapat masalah mengenai tarif listrik yang membuat daya beli masyarakat tinggi dan 2018 akan berhadapan dengan persoalan beras. "Awal tahun ini kan sebenarnya masalah harga beras. Karena komponenya sampai 25 persen dari pendapatan maayarakat miskin itu," tutur Eko.

Dia mengatakan, secara umum 25 persen pendapatan masyarakat dikeluarkan untuk membeli beras. Misalnya, jika seseorang pendapatannya Rp 1 juta maka akan menyisakan Rp 250 ribu untuk membeli beras.

Selain beras, juga konsumsi barang lain yang juga dekat dengan masyarakat menengah ke bawah. "Yang lain juga ada rokok, ini tinggi untuk orang miskin dan pemakaian pulsa yang juga tinggi," ujar Eko.

Dengan adanya kenaikan harga beras, maka akan secara otomatis berdampak pada daya beli masyarakat. Meskipun begitu, Eko menegaskan, penopangnya berada pada masyarakat kelas menengah.

Meskipun ada penurunan daya beli namun konsumsi rumah tangga tidak turun dibandingkan tahun lalu. "Kenapa ini tidak terlalu membuat syok karena memang yang terkena masyarakat kelas bawah. Kata kunci perekonomian itu kalau kena kelas menengah," kata Eko.

Seperti saat krisis ekonomi 1998, karena ada dampak langsung kepada masyarakat kelas menengah. Bahkan, menurut Eko, eskalasinya bisa keluar dari sektor ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement