REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) mendorong pemerintah segera melahirkan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kakao sebagai alternatif pembiayaan. Saat ini, produktivitas perkebunan kakao cenderung menurun sementara dana pemerintah untuk perbaikan tanaman kakao tidak signifikan. Padahal, kakao merupakan komoditas ekspor.
"Sudah seharusnya pemerintah membentuk Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kakao mengingat besarnya kontribusi ekspor kakao dan turunannya terhadap devisa negara," ujar Ketua APKAI, Arief Zamroni, melalui siaran pers, Ahad (4/2).
Berdasarkan data dari laporan Statistik Perkebunan Indonesia untuk Kakao tahun 2015-2017 yang dirilis Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian menyebutkan, kakao menyumbangkan devisa negara melalui ekspor sebesar 1,15 miliar dolar AS pada 2013. Angka itu naik menjadi 1,244 miliar dolar AS pada 2014, kemudian menjadi 1,307 miliar dolar AS pada 2015 dan 895 juta dolar AS sampai September 2016.
Sedangkan produksi kakao Indonesia cenderung berfluktuasi menurut dari 720.862 ton pada 2013, 728.414 ton pada 2014, kemudian turun menjadi 593.331 ton pada 2015, dan naik menjadi 656.817 ton pada 2016, dan diprediksi mencapai 688.345 ton pada 2017. Namun, diakui Arief, angka tersebut masih jauh dari potensi yang bisa diraih Indonesia dengan luas aareal 1,7 juta hektare.
"Seharusnya bisa mencapai produksi di atas 1 juta ton," kata dia.
Kendati demikian, komoditas kakao masih mampu menyumbang devisa hingga 1,05 miliar dolar AS tahun lalu. Dia melanjutkan, pembentukan BPDP Kakao sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. BPDP Kakao akan memungkinkan adanya pembiayaan usaha perkebunan dari penghimpunan dana pelaku usaha.
Tidak hanya itu, melalui BPDP Kakao bisa memanfaatkan ekspor sebagai dana untuk dapat digunakan langsung sebagai pengembangan sumber daya manusia (SDM), penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan. Kebijakan ini sudah diterapkan pada kelapa sawit dan seharusnya bisa diterapkan kepada komoditas kakao.
Ia pun menekankan agar pemerintah tidak hanya peduli dengan kepentingan sawit saja. Apalagi kakao merupakan tanaman rakyat yang lebih dari 95 persen merupakan milik masyarakat.
Hal senada diungkapkan Adi Pertama, petani kakao dari Kelompok Tani Buana Mekar, Desa Angkah Tabanan Bali. Menurutnya, petani masih membutuhkan banyak dukungan dari masyarakat. Menurutnya, masih banyak petani yang membutuhkan bantuan bibit karena tanamannya sudah tua. Begitu juga pada pasca panen yang masih terbatas dengan alat pengolahan disertai tenaga pendamping. Pendamping tersebut, kata dia, akan membuka akses dan inovasi bagi petani.
"Sebaiknya petani kedepan bisa memasarkan biji kakao premium dengan harga yang lebih menarik dan mendapatkan nilai tambah dari produk olahan," ujarnya.