REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sepanjang 2017, sebanyak 16.517 ekor sapi betina produktif berhasil dicegah untuk dipotong. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita mencatat, dari pencegahan pemotongan itu, nilai ekonomi yang berhasil diselamatkan mencapai Rp 49,55 miliar.
Ketut mengatakan, saat ini pemerintah terus melakukan upaya Kegiatan Pengendalian Pemotongan Ternak Ruminansia Betina Produktif yang merupakan salah satu kegiatan untuk mendukung Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab).
“Upaya ini tidak terlepas dari pemenuhan kebutuhan protein hewani melalui program percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau nasional,” kata dia dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Pemotongan Ternak Ruminansia Betina Produktif dan Kesejahteraan Hewan di IPB Convention Center, Botani Square Bogor, Jawa Barat, Kamis (1/2).
Tingginya pemotongan betina produktif, Ketut melanjutkan, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program Upsus Siwab. Sebab, tindakan itu dapat mengurangi akseptor dan betina bunting.
Berdasarkan data sistem informasi kesehatan hewan mutakhir, iSIKHNAS, dalam empat tahun terakhir angka pemotongan betina produktif rata-rata di atas 22 ribu ekor tiap tahunnya. “Yang berarti, kita berpotensi kehilangan penambahan populasi sebanyak 22 ribu,” ucap Ketut.
Dalam menekan laju pemotongan sapi/kerbau betina produktif ini, Ditjen PKH telah melakukan serangkaian kegiatan. Di antaranya, sosialisasi, pengawasan dan kerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kerja sama dengan kepolisian bukan tanpa dasar. Menurut Ketut, pengendalian pemotongan betina produktif sangat kental dengan aspek penegakan hukum. “Oleh karena itu, Ditjen PKH bekerja sama dengan Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Kepolisian,” ujarnya.
Pada 2017, kegiatan pengendalian betina produktif difokuskan pada 17 provinsi yang angka pemotongan betina produktifnya cukup tinggi. Di antaranya, Nusa Tenggara Timur dan Bali.
Ketut melihat, kegiatan sosialisasi dan pengawasan dengan pihak Kepolisian terbilang efektif dalam menekan laju pemotongan sapi atau kerbau betina produktif. Efektivitas terlihat dari adanya penurunan pemotongan betina produktif pada semester kedua 2017 ketika kegiatan sosialisasi dan pengawasan mulai efektif berjalan.
Saat itu, penurunan mencapai sebesar 14,3 persen di 17 provinsi prioritas. Untuk itu, pada tahun ini, Ditjen PKH berencana melanjutkan kegiatan tersebut sampai 2019. “Tujuannya, tetap mencegah pemotongan ternak betina produktif,” tutur Ketut.
Untuk jangka panjangnya, upaya tersebut dinilai bisa menyelamatkan ternak betina produktif sebagai target aseptor IB dan menyelamatkan pedet dari ternak betina bunting. Sampai pada akhirnya, akan membantu target pemerintah dalam melakukan percepatan peningkatan populasi sapi/kerbau nasional menuju visi Indonesia menjadi lumbung pangan dunia.
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementan, Syamsul Ma'arif, mengatakan, pihaknya menargetkan penurunan angka pemotongan betina produktif sebesar 20 persen tiap tahun. “Sampai nanti benar benar nol,” katanya.
Selain menekan angka pemotongan betina produktif, Syamsul mengatakan, upaya lain yang dilakukan untuk meningkatkan populasi adalah menambah indukan dari luar Indonesia. Tahun ini, sekitar 15 ribu sapi indukan impor bakal didatangkan dari Meksiko atau Australia.
Pengadaan sapi indukan, diakui Ketut dan Syamsul, bukanlah pekerjaan mudah dan memiliki risiko hukum. Karena itu, Ditjen PKH meningkatkan intensitas komunikasi dengan kepokisian maupun kejaksaan agar bisa melakukan supervisi terhadap sistem yang akan dijalani Kementan.
Sembari melakukan pengadaan, Syamsul menambahkan, sosialisasi dan edukasi terhadap Rumah Pemotongan Hewan (RPH) juga terus dilaksanakan. “Terutama terkait //animal welfare//-nya,” kata Syamsul.