REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program sejuta rumah (PSR) yang dicanangkan pemerintah sampai kini masih menemui banyak kendala. Selain masalah perijinan yang berbeda di setiap daerah, kendala lain adalah kalangan perbankan yang belum sepenuhnya siap menangani masalah ini lantara keterbatasan sumber daya manusia.
Persoalan tersebut masih ditambah dengan kendala di lapangan seperti fasilitas listrik serta air bersih yang belum sepenuhnya tersedia. Padahal listrik dan air bersih merupakan salah satu syarat untuk akad kredit.
Kalau listrik atau air tidak tersedia, maka akad kredit tertunda yang menderita adalah pengembang, karena harus menanggung bunga kredit konstruksi (modal kerja) yang tinggi. "Padahal marjin membangun rumah subsidi sangat kecil yakni di bawah 10 persen," kata Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Realestat lndonesia (REI) Soelaeman Soemawinata, Rabu (31/1).
REI saat ini terus memperjuangkan agar pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat mendorong suku bunga kredit konstruksi dapat diturunkan sehingga finansial pengembang rumah subsidi bisa lebih kuat.
Saat ini bunga kredit konstruksi untuk pengembang subsidi disamakan dengan bunga buat pengembang nonsubsidi yang berkisar 11 hingga 13 persen. Sementara untuk pembeli rumah subsidi pemerintah sudah menyediakan KPR dengan suku bunga 5 persen dan uang muka 1 persen. " REI tidak bisa lari sendiri, karena kami butuh support pemangku kepentingan lain,” kata Eman.
Posisi REI hanya "relawan" dalam pembangunan rumah rakyat. Sesuai amanah UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman upaya menyediakan rumah rakyat merupakan wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat maupun daerah.
Sangat disayangkan bila dalam tiga tahun PSR berjalan, belum seluruh pemangku kepentingan memberikan perhatian dan kepedulian terhadap program strategis nasional tersebut. Khususnya terkait kemudahan perizinan, serta dukungan penyediaan listrik dan air di lokasi perumahan subsidi yang dibangun anggota REI.
Sepanjang 2017 REI telah membangun 206.290 unit rumah bersubsidi di seluruh indonesia. Jumlah tersebut melampaui target yang ditetapkan asosiasi tersebut sebanyak 200.000 unit. Tahun ini, REI menambah target pembangunan rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) menjadi 236.000 hingga 250.000 unit.
Saat ini kondisi bisnis perkantoran dan kawasan komersial juga menghadapi kendala. Pasokan ruang perkantoran saat ini masih belum sepenuhnya terpenuhi. Hal yang sama juga terjadi pada bisnis kawasan komersial seperti pusat perbelanjaan akibat banyaknya konsumen yang menahan diri. "Ini menjadi perhatian karena bisnis properti telah membuka banyak lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi," kata Eman.