REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gabungan pengusaha makanan dan minuman seluruh Indonesia (Gapmmi) menargetkan pertumbuhan ekspor di tahun 2018 dapat mencapai angka 10 persen. Kendati begitu, Ketua Umum Gappmi Adhi S Lukman mengatakan, target tersebut cukup berat diraih karena industri masih terkendala tarif bea masuk yang tinggi di sejumlah negara.
Menurut Adhi, negara-negara di kawasan Afrika, misalnya, masih mengenakan tarif bea masuk yang lebih mahal untuk produk Indonesia ketimbang produk Cina. "Afrika kasih tarif yang lebih murah ke Cina karena mereka punya kerja sama government to government," ungkap dia, dalam forum diskusi di kantor Kementerian Perindustrian, Selasa (30/2).
Selain Cina, sambung Adhi, negara di kawasan Asia lain yang juga mendapat keistimewaan tarif di banyak negara ekspor tujuan antara lain Vietnam dan Thailand. Perbedaan tarif tersebut membuat produk Indonesia menjadi kalah saing. Karenanya, Gappmi berharap pemerintah dapat segera memperjuangkan kerja sama perdagangan bebas dengan sejumlah negara dan kawasan agar hambatan tarif dapat dihilangkan.
Pada akhir 2017 lalu, Indonesia berhasil menandatangani kerja sama perdagangan dengan Chile. Adhi berharap, kerja sama itu dapat menjadi pintu masuk bagi produk makanan dan minuman asal Tanah Air untuk melakukan penetrasi di pasar Amerika Latin.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto, mengungkapkan nilai ekspor produk makanan dan minuman pada 2017 mencapai 11,5 miliar dolar AS. Angka itu meningkat dibanding nilai ekspor di 2016 yang tercatat sebesar 10,43 miliar dolar AS.
Adapun produk ekspor unggulan dari sektor industri makanan dan minuman antara lain udang beku, minyak kelapa, kakao, margarin dan mentega, serta roti dan kue.