Senin 29 Jan 2018 16:28 WIB

Bank di Indonesia Banyak Dilirik Jepang, Ini Dampaknya

Indonesia merupakan pasar perbankan terbesar di Asia Tenggara.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Pelayanan nasabah di kantor pelayanan salah bsatu bank swasta nasional di Jakarta. ilustrasi
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Pelayanan nasabah di kantor pelayanan salah bsatu bank swasta nasional di Jakarta. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Investor Jepang kini mulai memantapkan bisnisnya di Indonesia. Pasalnya dua bank besar di Jepang berencana memiliki saham mayoritas pada beberapa bank di Indonesia.

Sebelumnya, The Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ (MUFJ) mengumumkan akan menguasai saham Bank Danamon hingga 73,8 persen. Akuisisi itu rencananya dilakukan dalam tiga tahap.

Kini, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) juga ingin menggabung (merger) Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) dengan SMBC Indonesia. Proses merger pun bakal segera berjalan.

Menanggapi hal itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai, penambahan modal dan akuisisi perbankan asing punya dua sisi baik positif maupun negatif. Dari sisi positifnya, kata dia, itu menandakan prospek ekonomi Indonesia dalam jangka panjang cukup prospektif khususnya untuk pembiayaan proyek konstruksi, konsumsi dan UMKM.

Pasar terbesar di Asia Tenggara, menurutnya, juga ada di Indonesia. "Apalagi bicara soal tren perbankan yang masuk ke ranah digital. Jumlah pengguna internet aktif mencapai 132 juta orang dan pertumbuhannya lima kali lebih cepat dari rata-rata penetrasi internet di dunia," jelas Bhima kepada Republika, Senin, (29/1).

Lebih lanjut, ia menuturkan, kasus BTPN yang tengah bertransisi dari bank pensiunan ke financial technology (fintech) memang butuh modal besar. Maka berkonsolidasi dengan konglomerasi Sumitomo akan memberi suntikan modal yang besar untuk ekspansi digital.

"Tapi disisi yang lain, porsi kepemilikan asing yang terlalu besar sebenarnya kurang menguntungkan ekonomi Indonesia. Model regulasi perbankan di indonesia dianggap terlalu liberal karena kurangnya pembatasan pemain asing," tegas Bhima.

Implikasi dari liberalnya sistem perbankan, menurutnya berpotensi  menganggu stabilitas sektor keuangan menjadi lebih beresiko. "Jika terjadi krisis misalnya, modal asing bisa ke luar dengan cepat," tambahnya.

Dalam hal ini, kata dia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) punya ranah untuk mengatur porsi asing agar stabilitas keuangan bisa lebih terjaga. Dampak negatif selanjutnya, kata Bhima, yaitu ke persaingan dengan lembaga keuangan dalam negeri, khususnya yang bermain di sektor mikro semakin ketat. Danamon misalnya, cukup berpengalaman di sektor mikro, ditambah suntikan modal bisa menggerus pasar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan koperasi.

"Jadi dari sisi persaingan pun perlu diperhatikan. Saat ini ada 117 bank yang saling berebut dana murah, karena persaingan kurang sehat maka bank sulit turunkan bunga kreditnya, kendati Bank Indonesia sudah potong bunga acuan 200 bps sejak tahun lalu," jelas Bhima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement