Senin 22 Jan 2018 09:59 WIB

BI Temukan Kafe Hingga Hotel di Bali Gunakan Bitcoin

Bank Indonesia sudah resmi melarang penggunaan uang virtual sebagai alat transaksi.

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Nidia Zuraya
Bitcoin.
Foto: Reuters/Benoit Tessier
Bitcoin.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Kepala Divisi Sistem Pembayaran di Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPBI) Bali, Teguh Setiadi mengingatkan masyarakat Bali akan risiko bitcoin. Bitcoin bukan mata uang sah yang digunakan sebagai alat pembayaran yang diakui undang-undang.

"Pemerintah dan BI terus mengingatkan masyarakat supaya tidak bertransaksi dengan bitcoin," kata Teguh, Senin (22/1).

Teguh mengatakan mata yang sah adalah rupiah. Alat pembayaran sah dan sudah mendapat izin dari BI, di antaranya kartu debet, kartu kredit, uang elektronik (unik), atau kartu unik untuk tol (e-toll).

Bitcoin saat ini semakin populer di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Bali menjadi salah satu destinasi pariwisata dunia yang tak terhindari dari risiko transaksi bircoin.

Teguh mengatakan nilai bitcoin bisa melonjak drastis, dari awalnya hanya satu dolar AS menjadi 20 ribu dolar AS. Meski demikian, tidak ada regulator yang mengatur penggunaannya, sehingga tidak ada yang menjamin dan melindungi pengguna yang mengalami kerugian.

"Bahkan bitcoin exchanger pun masih dalam proses penggodokan," katanya.

Pihak KPBI terus menyisir sejumlah daerah wisata di Bali yang terindikasi menerima transaksi bitcoin. Penyisiran dilakukan di Kuta, Ubud, dan Seminyak sebagai sentral aktivitas wisatawan mancanegara (wisman).

Petugas menemukan sejumlah kafe, agen perjalanan, toko merchant, hingga hotel di Bali yang menerima transaksi bitcoin. Mereka pun diberikan sosialisasi dan diminta menghentikan transaksi tersebut.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Pusat, Agusman mengatakan BI menegaskan mata uang virtual termasuk bitcoin dilarang di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7/ 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah.

Pemilikan mata uang virtual sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga virtual currency serta nilai perdagangan sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble), serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang, dan pendanaan terorisme. Mata uang virtual, kata Agusman dapat memengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat.

"Makanya BI memperingatkan seluruh pihak agar tidak menjual, membeli atau memperdagangkan mata uang virtual," katanya dalam siaran pers.

BI melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran (prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana) dan penyelenggara Teknologi Finansial di Indonesia baik Bank dan Lembaga Selain Bank untuk memproses transaksi pembayaran dengan mata uang virtual. Ini sudah diatur di Peraturan Bank Indonesia (PBI) 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. (Mutia Ramadhani)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement