Selasa 16 Jan 2018 01:04 WIB

BI: Mata Uang Virtual Berbahaya

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nur Aini
Bitcoin.
Foto: Reuters/Benoit Tessier
Bitcoin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengaku, saat ini belum memiliki data berapa total masyarakat Indonesia yang memiliki cryptocurrency atau mata uang virtual. Pasalnya, bank sentral tidak mengakuinya sebagai alat transaksi sah di Indonesia. 

"Karena kami tidak mengakuinya maka kami tidak punya datanya," ujar Direktur Eksekutif Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko kepada wartawan di Jakarta, Senin, (15/1). Meski begitu ia menambahkan, bank sentral akan terus berkoordinasi dengan lembaga dan kementerian terkait untuk mencari data-data mengenai penggunaan mata uang virtual. 

Onny menjelaskan, sudah mengkaji soal mata uang virtual dengan instansi lainnya seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bapepti). Hasilnya, regulator menegaskan larangan penggunaan mata uang digital sebagai alat bayar. 
 
Menurutnya, mata uang virtual berbahaya bagi stabilitas sistem keuangan. "Bahayanya adalah pada proses penciptaan uangnya. Kalau uang ada aturannya, bitcoin naik 164 kali lipat itu jadi berapa persen," ujar Onny. 
 
Dengan begitu, dia mengatakan jika proses penciptaan uangnya berlebihan, jumlah uangnya juga akan berlimpah. "Jadi buat apa (ada) uang untuk melayani uang. Ini yang jadi perhatian BI," ujarnya. "Kami akan koordinasi terus. Mohon bersabar, kan ini lintas instasi. Ada yang bilang dia itu komoditi. Bapepti lagi kaji, OJK juga. BI pun ini kajiannya sudah di ujung," tutur Onny. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement