REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - - Suwarno (57 tahun) memutuskan mengubah jalan hidupnya pada 1998. Ia berhenti dari tempat kerjanya dan memilih membuka usaha sendiri.
Suwarno kala itu mencoba memanfaatkan peluang di tengah krisis moneter. Melonjaknya kurs dolar AS terhadap rupiah membuat segala barang menjadi mahal, apalagi onderdil mobil impor dan aksesorisnya.
Berbekal ilmu dari sekolah teknik menengah (STM) Solo dan pengalaman kerjanya di pabrik otomotif, ia membuka Bengkel Laksana Teknik Makmur (LTM). Dia memulai perjuangannya dengan memanfaatkan garasi seluas 50 meter persegi di salah satu perkampungan di Cileungsi, Bogor. Bersama lima karyawannya, Suwarno memproduksi aksesoris mobil berupa garnish.
"Kami waktu itu memproduksi garnish yang di atas ban untuk mobil Kijang Super, Panther, dan sejenisnya," kata Suwarno kepada Republika, belum lama ini.
Upaya Suwarno mendapat sambutan dari pasar aftermarket. Pada beberapa tahun pertama, ia mengaku bisa memproduksi 5.000 unit garnish dalam sebulan. Kebetulan, Suwarno sudah punya cukup banyak kenalan bengkel-bengkel untuk memasarkan produknya.
Bisnis Suwarno semakin berkembang pada 2008 setelah menjadi mitra binaan Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) besutan PT Astra International Tbk. Pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah, tersebut merasa perlu bergabung dengan YDBA guna meningkatkan kemampuan manajemen usahanya seiring naiknya permintaan produk dan bertambahnya karyawan.
Dikisahkan Suwarno, YDBA memberikan pelatihan kepada para pegawai LTM berupa pengoperasian mesin yang lebih modern hingga etos kerja. Manajemen turut dilatih untuk menerapkan konsep 5R yakni ringkas, rapi, resik, rawat, dan rajin. "Semua fasilitas pelatihan diberikan secara gratis oleh YDBA," kata dia.
Suwarno mengatakan, LTM kian profesional dalam menjalankan bisnis usai menjadi mitra binaan YDBA. Dahulu, kata dia, usaha dijalankan apa adanya.
"Perbedaan proses bisnis sangat jauh setelahnya. Dahulu yang kami lakukan sebatas membuat produk, menjual, dan mendapatkan uang. Begitu terus alurnya tanpa ada manajemen matang," ucapnya.
Setelah ada pelatihan, proses produksi LTM semakin efisien. Produksi meningkat karena para karyawannya sudah memahami sistem pengoperasian mesin yang lebih modern. Atas alasan itu, Suwarno memberanikan diri menginvestasikan dana sebesar Rp 800 juta untuk membeli satu mesin power press baru.
Bantuan Astra terhadap LTM tak berhenti di YDBA. Dia mengungkapkan, modal Rp 800 juta untuk membeli mesin baru didapat dengan meminjam dari PT Astra Mitra Ventura.
Pembayaran pinjaman pertama LTM ke Astra Mitra Ventura berjalan lancar. Suwarno kemudian mencoba mengajukan nominal pembiayaan yang lebih besar mencapai Rp 4 miliar pada 2015. Pinjaman yang digunakan untuk menambah mesin dan memperluas pabrik, kembali disetujui Astra Mitra Ventura.
"Enaknya lagi, Astra Mitra Ventura tak sekadar memberikan pinjaman, tapi memberikan pendampingan untuk proses pemasaran produk," katanya.
LTM pun mampu naik kelas dari awalnya industri kecil dengan luas lahan 50 meter persegi, menjadi industri menengah dengan luas pabrik mencapai 1, 3 hektare. Bahkan, kata Suwarno, masih ada lahan yang belum terbangun milik LTM seluas 1,7 hektare sebagai persiapan ekpansi.
Sekarang, jumlah produksi LTM naik berkali-kali lipat. Suwarno mengklaim sudah mampu memproduksi garnish mencapai 13 ribu unit per bulan.
Jenis produk yang dihasilkan LTM juga kian beragam. Beberapa di antaranya adalah exhaust finisher untuk Mitsubishi Pajero, muffler cutter untuk Honda BRV dan Mobilio, hingga side bumper All New Fortuner.
"Kami juga diminta menyuplai produk ke Astra. Alhamdulillah, kami yang awalnya hanya lima orang, kini sudah punya lebih dari 200 karyawan," ujar Suwarno.
Suwarno bukan hanya bisa mengubah nasibnya dari seorang karyawan menjadi bos, ia juga berhasil menciptakan lapangan pekerjaan. Banyak pemuda pengangguran di sekitar pabriknya yang akhirnya memiliki pekerjaan dan mampu menghidupi keluarganya.
Presiden Direktur PT Astra Internasional Tbk Prijono Sugiarto mengatakan, Astra sejak awal berdiri memang memiliki misi mengayomi UKM dan IKM. "Karena, cita-cita pendiri Astra adalah sejahtera bersama," ujar dia.
Prijono menambahkan, IKM perlu dikembangkan karena dapat menjaga kesinambungan bisnis Astra. Selain itu, jika IKM berkembang, maka perekonomian nasional bisa tumbuh lebih pesat.
Sampai saat ini, tegas Prijono, sudah ada 11 ribu UKM yang dibina Astra. "Jadi, industri otomotif yang maju bukan hanya Astra. Tapi juga IKM manufaktur. Perlu diketahui, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) Astra berada pada kisaran 80-90 persen," ujar Prijono.
Presiden Direktur Astra Mitra Ventura Jefri R Sirait menjelaskan, perusahaan sudah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 800 miliar kepada 400 UKM/IKM. Mayoritas pembiayaan disalurkan untuk pelaku usaha di sektor otomotif.
Jefri menyebutkan, pembiayaan ke sektor otomotif mencapai 80 persen. "Sisanya disalurkan ke berbagai sektor, seperti untuk pabrik alat kesehatan hingga para petani plasma," kata Jefri.
Menurut dia, Astra Mitra Ventura berbeda dengan lembaga keuangan lainnya. Astra Ventura tidak hanya memberikan permodalan, tapi juga melakukan pendampingan kepada IKM agar modal yang didapat bisa meningkatkan skala bisnis.
Pendampingan dilakukan dalam bentuk perencanaan keuangan, pelatihan sumber daya manusia (SDM), pemasaran, hingga perluasan akses pasar. Astra Mitra Ventura bersinergi dengan YDBA dalam mendampingi IKM.
Menurut Jefri, sudah banyak UKM dan juga industri kecil yang naik kelas setelah mendapat pembiayaan dan pendampingan dari Astra. Contoh lainnya adalah PT Rekadaya Kreasi Indonesia yang memproduksi peredam mobil.
Dia mengungkapkan, Rekadaya dahulu hanya memiliki aset di bawah Rp 10 miliar. Setelah mendapatkan permodalan dan pendampingan, Rekadaya kini telah memiliki aset hingga Rp 120 miliar. "Mereka sekarang sudah naik kelas ke perusahaan besar," kata Jefri.
Rekadaya yang berlokasi di Cileungsi, Bogor, memproduksi peredam mobil menggunakan limbah tekstil. Direktur Rekadaya Farri Aditya menceritakan, perusahaannya mendapat pendampingan manajemen dari YDBA. Rekadaya juga mendapat permodalan dari Astra Mitra Ventura. Pinjaman itu dipakai untuk ekspansi pabrik baru di Karawang. Selain itu, digunakan untuk membeli limbah tekstil sebagai bahan baku dan membeli mesin pembuat peredam.
Berkat bantuan tersebut, Rekadaya mampu memenuhi permintaan pembuatan peredam dari industri otomotif. Dia mengklaim, sebesar 65 persen peredam mobil nasional diproduksi oleh Rekadaya. "Sedangkan khusus mobil Astra, kami memproduksi 85 persennya," kata Farri.
Dalam setahun, Rekadaya menyerap 5.000 ton limbah tekstil dari berbagai daerah setiap tahun. Menurut Farri, semua limbah tersebut tidak ada yang terbuang. Semua bahan baku limbah mampu diubah menjadi produk peredam.