Kamis 28 Dec 2017 15:53 WIB

Tak Harus Ditanami Sawit, Gambut Punya Nilai Ekonomi

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Gita Amanda
diskusi pakar bertajuk Perlindungan Gambut dan Pembangunan Ekonomi di Jakarta.
Foto: Pusat Pakar Perubahan Iklim
diskusi pakar bertajuk Perlindungan Gambut dan Pembangunan Ekonomi di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahan ekosistem gambut rupanya memiliki nilai ekonomi yang menghidupi masyarakat. Tidak harus menjadikan lahan gambut sebagai lahan kebun sawit.

"Di dalam gambut ada nilai ekonomi dan gambut harus dijadikan sebagai input ekonomi untuk menghidupi masyarakat," kata pakar dari Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia (UI) Sony Mumbunan dalam diskusi pakar bertajuk Perlindungan Gambut dan Pembangunan Ekonomi di Jakarta tengah pekan ini.

Konversi lahan gambut hanya akan meniadakan nilai ekonomi lahan gambut. Badan Restorasi Gambut (BRG) telah berupaya menjaga lahan gambut melalui budidaya tanaman yang ramah terhadap gambut yaitu jelutung, sagu, nanas dan purun. Tanaman-tanaman ramah ini disebut paludikultur.

Menurut I Nyoman Suradiputra dari Wetlands Indonesia, narasi ekonomi yang menjadikan lahan gambut bernilai ekonomi jika ditanami komoditas ekspor berujung pada hilangnya lahan gambut. Kehilangan ini dimulai dengan pembuatan kanal-kanal oleh pengusaha yang menyebabkan terjadinya kekeringan lahan gambut.

"Kanal-kanal dibangun untuk mengeringkan gambut, agar lahan bisa ditanami sawit," ujar dia.

Dampak buruk lainnya adalah penggunaan pestisida yang dapat merusak ekosistem lahan. Untuk diketahui, banyak pulau di pantai timur Sumatera terbentuk dari gambut, salah satunya Pulau Padang dan Bengkalis. Menurut Nyoman, jika penanaman kelapa sawit dibiarkan di kedua pulau itu, lahan gambut akan amblas atau subsidence, hilang dan berpengaruh pada zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement