REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Wakil Dekan Fakultas Pertanian IPB Suwardi mengatakan, pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman perkebunan masih terkendala oleh beberapa peraturan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa. Menurutnya, peraturan tersebut membatasi petani untuk mengolah gambut menjadi lahan potensial untuk perkebunan.
"Lahan gambut rusak atau tidak dinilai dari peraturan itu. Jika terjadi perubahan dalam lahan gambut, maka dinilai ada kerusakan," ujar Suwardi dalam acara Workshop Gambut untuk Budidaya Sawit di Yogyakarta, Rabu (27/4).
Suwardi menjelaskan, lahan gambut yang akan dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan harus dilakukan pemadatan. Dengan pemadatan, maka struktur lahan gambut akan berubah dan mengacu pada peraturan tersebut maka lahan gambut dikatakan rusak. Padahal perubahan tersebut untuk mengubah lahan gambut menjadi lebih baik dan berpotensi dimanfaatkan bagi komoditas perkebunan. Menurut Suwardi, pemadatan dibutuhkan untuk lahan gambut yang kondisinya rendah.
"Sekarang perusahaan-perusahaan besar belum berani memadatkan tanah, dan implikasinya adalah hukuman pidana," kata Suwardi.
Suwardi menambahkan, pengelolaan lahan gambut lebih rumit ketimbang lahan mineral. Sebab sifat lahan gambut porosnya besar, kesuburannya rendah, dan sifatnya masam. Oleh karena itu, perlu ada teknologi untuk mengurangi sifat-sifat gambut tersebut. Total lahan gambut di Indonesia sebesar 14,9 juta hektare dan yang sudah dibuka untuk lahan perkebunan sekitar 6,5 juta hektare. Dari 6,5 jutaa hektare tersebut, terdapat 3,5 juta hektare lahan gambut yang rusak.
Menurut Suwardi, lahan gambut yang sudah dikelola dengan baik berada di pinggir aliran sungai dan umumnya dikembangkan oleh swasta. Sementara, lahan gambut yang dikembangkan pemerintah sebagian besar dalam kondisi rusak terutama di wilayah Sumatera Selatan.