REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahan gambut di Indonesia berpeluang dimanfaatkan untuk ekonomi dan lingkungan berkelanjutan. Hal tersebut dapat diupayakan di tengah momentum restorasi gambut yang tengah diupayakan pemerintah.
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB-FAO) mendukung penelitian dan indentifikasi pengelolaan lahan gambut berkelanjutan melalui Sistem Palidiculture. "Ini untuk memastikan agar upaya-upaya restorasi gambut didahului identifikasi pengelolaan gambut yang tepat," kata Representatif FAO Indonesia Mark Smulders, di Jakarta, Selasa (10/5).
Mark menerangkan, Sistem Paludiculture merupakan sistem penggunaan rawa dalam keadaan basah yang juga dapat meningkatkan insentif ekonomi). Ia dinilai menjadi salah satu langkah tepat mengelola lahan gambut dan mencegahnya dari kebakaran hutan dan lahan.
Dalam hasil penelitian, Paludiculture mampu mempertahankan fisik gambut serta mempertahankan kemampuan ekosistem dalam memberi manfaat bagi masyarakat. Ia juga mendorong akumulasi karbon dan dapat memproduksi komoditas pertanian tradisional untuk keperluan pangan, pakan, serat, dan bahan bakar.
"Paludiculture juga mampu menghasilkan bahan baku lainnya untuk berbagai tujuan, termasuk untuk sektor industri biokimia," ujarnya. Sistem juga dapat digunakan untuk untuk budidaya hasil hutan, agroforesty, produksi padi, dan kegunaan dasar lain seperti energi, konstruksi, dan produk biokimia.
Terdapat tiga area yang dapat menjadi praktik paliduculture di Indonesia, di antaranya sistem beje di Kutai dan suku Banjar di Kalimantan Timur; Perkebunan Kacang di Segedong Kalimantan Barat ,serta pertanian Sagu di kabupaten Merannti dan Propinsi Riau. Pengembangan paludiculture dapat dimaksimalkan dengan memelihara karbon, membantu mitigasi iklim dan aktivitas adaptasi. Di samping itu, perlu didukung dengan pengaturan arus air, pemantauan kualitas air, pun memelihara flora dan fauna yang hidup di lahan gambut.