Rabu 27 Dec 2017 08:11 WIB

Ketimpangan Pendapatan di Jepang Memburuk

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nur Aini
Bendera Jepang
Foto: techgenie.com
Bendera Jepang

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Masalah kesenjangan pendapatan di Jepang kini semakin parah. Padahal negara ini menikmati pertumbuhan terbaik sejak pertengahan1990-an.

Perbedaan pendapatan yang melebar membuatnya semakin sulit bagi negara ini untuk menghadapi tantangan demografis. Sebab, upah stagnan menghalangi warga untuk memiliki anak. Angkatan kerja yang menua juga turut menghalangi usaha pemerintah untuk meningkatkan pendapatan guna membayar masyarakat yang lebih tua.

Perdana Menteri Shinzo Abe menanggapi masalah tersebut. Bulan ini para pejabat menyusun rencana untuk membantu orang tua dengan memberikan pendidikan anak usia dini secara gratis.

Warga Tokyo mendapatkan keuntungan paling banyak di bawah kepemimpinan Abe, dengan pendapatan kena pajak rata-rata meningkat hampir tujuh persen selama lima tahun sampai fiskal 2016. Ini menjadi yang paling banyak di prefektur manapun. Sebagai perbandingan, pendapatan untuk 2,4 juta orang yang tinggal di Nara dan Kagawa mengalami penurunan pada periode yang sama.

Pendapatan wilayah bersalju Akita mengalami kenaikan, namun masih merupakan wilayah termiskin di antara 47 prefektur. Rata-rata warga berpenghasilan hanya 59 persen dari jumlah orang di Tokyo. Sementara pendapatan rakyat Fukushima meningkat dari kompensasi dan rekonstruksi pascagempa bumi 2011, tsunami, dan krisis nuklir yang menghancurkan sebagian besar wlayah prefektur tersebut.

Dilansir di laman Bloomberg, populasi Jepang mulai menyusut pada 2008 sementara urbanisasi terjadi dengan cepat. Hal tersebut jelas memukul perdesaan Jepang. Banyaknya orang muda Jepang tertarik ke kota lantaran lebih banyak lapangan pekerjaan. Tak heran jika daerah perkotaan seperti Tokyo, Nagoya, dan Fukuoka terus kedatangan orang muda.

Sayangnya, wilayah perdesaan yang mengalami penyusutan populasi membuatnya semakin sulit bertahan. Sebagian pekerja juga dikenal sebagai pembayar pajak, pindah. Daerah perdesaan dibiarkan berjuang untuk membayar layanan bagi orang-orang yang tertinggal, yang kemungkinan besar akan pensiun, tidak membayar pajak dan menggunakan lebih banyak layanan kesehatan dan sosial.

Disparitas pendapatan di Tokyo semakin memburuk. Orang-orang di Minato yang merupakan daerah dengan penghasilan kena pajak rata-rata tertinggi di Jepang telah memiliki lima tahun yang baik. Meningkatnya laba perusahaa berarti pendapatan dividen melonjak 251 persen pada 2016 dibanding pada 2012. Kota ini juga menjadi rumah bagi kedutaan besar dan kantor lokal Google dan Goldman Sachs. Pembayar pajak rata-rata di sana memiliki penghasilan kena pajak sebesar 11,1 juta yen atau 98 ribu dolar AS pada 2016, naik 23 persen sejak 2012.

Dibandingkan dengan Koto di timur dan Ota di selatan, penghasilan kena pajak hanya sekitar 4,2 juta yen. Jika menuju dua jam ke barat sampai perbatasan Tokyo, rata-rata pendapatan 900 orang wajib pajak di perdesaan Hinohara, kurang dari seperempat dari yang diterima orang-orang di Minato.

Begitu juga dengan Osaka. Meski dipandang sebagai kota kedua di Jepang, kota ini sangat miskin dengan pendapatan kena pajak rata-rata hanya 77 persen yang diperoleh orang-orang di ibu kota. Penurunan produksi di Osaka oleh perusahaan seperti Panasonic dan Sharp telah merugikan kota dan pendapatan penduduknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement