REPUBLIKA.CO.ID, Dari target 11 persen bauran energi baru terbarukan (EBT)yang dipasang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2016 hanya tercapai 7 persen saja. Untuk 2017 ini, Bappenas juga mencatat, bahwa peningkatan bauran EBT tumbuh meski tidak signifikan.
Staf Direktorat Sumber Daya Energi dan Mineral Bappenas, Nizar Marizi mengatakan salah satu kendala dalam pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT adalah pembiayaan. Nizar tak menampik jika investasi di bidang EBT membutuhkan dana yang tak sedikit.
Namun sayangnya, kata dia, skema pembiayaan dan pinjaman bagi investasi EBT masih sulit. "Tantanganya memang tidak sedikit, misalnya dari harga jual yang masih tinggi karena investasi yang masih mahal. Skema pendanaan yang masih sulit, karena terlalu high risk," ujar Nizar baru-baru ini.
Pendapat Nizar ini diamini Direktur Utama Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Menurut Fabby, salah satu kendala pengembangan EBT di Indonesia adalah regulasi yang berubah ubah.
Ia mengatakan, regulasi yang berubah dan mengalami beberapa revisi membuat ketidakpastian investasi bagi para investor. "Regulasi yang berubah-ubah membuat para pengembang pembangkit listrik swasta (IPP) ini bingung. Misalnya saja seperti peraturan menteri yang berubah dalam waktu satu tahun. Lalu adanya kebijakan baru soal revisi tarif. Dari segi pandangan investasi tentu ini menjadi kendala," ujar Fabby.
Fabby melihat kendala ini yang perlu dievaluasi pemerintah kedepan. Sebab, harga yang masih mahal bagi pengembangan investasi EBT, membuat investor membutuhkan modal yang tak sedikit. Hal ini harus didukung oleh kepastian iklim investasi sebagai jaminan bagi para investor untuk bisa melakukan investasi pembangkit EBT.
Meski masih sepi peminat investasi, kedepan menurut Nizar masih banyak peluang pengembangan EBT. EBT berupa Pembagkit Listrik Tenaga Air (PLTA), menurut Nizar, bisa lebih ditingkatkan kedepan. Selain harganya yang masih terjangkau dibandingkan jenis energi terbarukan lainnya, sumber daya air yang dipunya Indonesia melimpah.
"Air menjadi salah satu yang prospek kedepan. Pada RPJM 2018 mendatang pembangunan PLTA bisa ditingkatkan," ujar Nizar.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Alexander Sonny Keraf mengatakan, pengembangan EBT tak hanya tanggung jawab Kementerian ESDM, tapi juga tugas sejumlah kementerian lain, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menurutnya, peran KLHK sangat dibutuhkan untuk mendukung upaya pemerintah capai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025.
Salah satunya, lanjut dia, adalah dukungan berupa pendanaan infrastruktur mengingat pemerintah menganggarkan dana mitigasi perubahan iklim sebesar Rp 77,6 triliun. "Anggaran EBT cuma Rp 1 triliun, dan itu sebagian besar dialokasikan untuk PLTS dan PLTMH. Sisanya, mengandalkan investasi swasta," ungkap Sonny.