REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah mengenakan bea masuk barang tak berwujud (intangible goods) yang diperdagangkan secara elektronik dinilai membutuhkan instrumen pembayaran dalam implementasinya. Sebab, jika hanya aturan tanpa didukung instrumen, maka akan kesulitan dalam melaksanakan kebijakan tersebut.
Direktur Center for Indonesia Tax Alalysis (CITA), Yustinus Prastowo, mengatakan, dalam Undang-Undang Kepabeanan sudah diatur mengenai kewenangan mengenakan bea masuk barang tak berwujud tersebut. Menurut Yustinus, saat itu World Trade Organization (WTO) melakukan moratorium bea masuk barang tak berwujud dengan tujuan mendorong alih teknologi di negara berkembang. Namun, saat ini teknologi telah berkembang pesat termasuk di negara-negara berkembang.
"Indonesia harus bisa mengembangkan produk-produk tak berwujud seperti e-book, software, dan sebagainya. Kalau konteks secara penguatan supaya barang-barang dihambat masuk karena dalam negeri punya barang yang sama untuk proteksi, saya rasa kebijakan itu tepat," kata Yustinus saat dihubungi Republika, Ahad (17/12).
Namun, jika alasannya lebih bertujuan untuk penerimaan negara dan tidak melihat kepentingan dalam negeri, lanjutnya, maka pemerintah harus berhati-hati karena bisa menghambat kebutuhan masyarakat, yang tidak ada pengganti barang tersebut di dalam negeri.
"Kalau ini momentum melindungi produsen dalam negeri supaya tumbuh, kompetitif dan mandiri bisa dibenarkan," imbuhnya.
Selain itu, Yustinus menekankan adanya masalah administrasi, terlepas dari boleh atau tidak boleh mengenakan bea masuk. Indonesia belum memiliki instrumen pembayaran untuk bea masuk tersebut. Instrumen tersebut berupa payment gateway.
Dia mencontohkan, masyarakat yang mengunduh (download) musik dari luar negeri harus terdapat instrumen pembayaran bea masuk. Sehingga kebijakan tersebut akan mudah diimplementasikan.
"Itu dulu yang harus dibangun, ini sama dengan pajak pertambahan nilai, e-commers boleh dikenakan tapi dalam praktek kalau kita tidak punya mekanisme memungut akan kesulitan.Ini nantinya harus melibatkan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Kominfo," ungkapnya.
Secara terpisah, pengamat pajak dari Universitas Pelita Harapan, Ronny Bako, menyatakan pengenaan bea masuk barang tak berwujud sudah diatur dalam undang-undang. Sehingga, jika pemerintah tidak menerapkan, maka akan menyalahi hukum. Menurutnya, WTO membuat kebijakan moratorium bea masuk barang tak berwujud tersebut diserahkan kepada masing-masing negara.
"Indonesia tidak mau menjalankan karena kebijakan itu bukan bersifat hukum tapi administrasi. Kalau ada negara lain keberatan dengan Indonesia, bisa membawa ke sidang panel WTO, kan prosedur masing-masing. Jadi sah-sah saja Indonesia mau menjalankan kebijakan WTO atau tidak," ujarnya saat dihubungi Republika.
Menurutnya, jika ada negara-negara lain yang tidak setuju dengan kebijakan Indonesia mengenakan bea masuk barang tak berwujud, hal itu dikarenakan tarif yang ditetapkan terlalu tinggi. Tarif bea masuk maupun bea keluar tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan.