REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Akses layanan keuangan dan perbankan merupakan hak seluruh masyarakat, tak terkecuali penyandang disabilitas atau difabel. Hal ini sekaligus menjadi tantangan pemerintah untuk menyediakan layanan keuangan bagi masyarakat berkebutuhan khusus, terutama di daerah-daerah dengan akses perbankan yang masih minim.
Di Sumatra Barat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memilih turun langsung ke lapangan untuk memberikan penyuluhan keuangan bagi para penyandang disabilitas. Harapannya sederhana, agar penyandang disabilitas memiliki pengetahuan yang cukup tentang keuangan demi memberdayakan ekonomi mereka.
Kepala OJK Sumatra Barat Darwisman menilai, penyandang disabilitas memiliki potensi pengembangan ekonomi sama besarnya dengan masyarakat pada umumnya. Bahkan, lanjutnya, tak pantas kalau masih ada stigma yang menyebutkan bahwa penyandang disabilitas tak mampu mandiri secara finansial dan ekonomi.
Darwisman memberi contoh dengan perusahaan batik kultur di Jawa Tengah yang separuh dari karyawannya merupakan penyandang disabilitas. Potensi ekonomi besar yang mampu disumbangkan para penyandang disabilitas ini yang kemudian direspons oleh OJK dengan memberikan pelatihan keuangan.
Darwisman menjelaskan melalui program edukasi keuangan, para penyandang disabilitas diberikan materi praktis terkait pengelolaan keuangan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Materi tersebut antara lain materi pengelolaan keuangan rumah tangga dan tips-tips pengelolaan pendapatan rumah tangga.
"Agar pendapatan bulanan tidak habis untuk keperluan sehari-hari namun juga ditabung maupun diinvestasikan," kata Darwisman di Padang, Rabu (13/12).
OJK juga mengenalkan produk tabungan emas sebagai instrumen investasi yang dapat dimanfaatkan para penyandang difabel. Selain itu pelatihan juga mencakup materi Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu program pinjaman yang disubsidi pemerintah dan dapat dimanfaatkan sebagai modal usaha.
Pemberian pelatihan bagi para penyandang difabel juga sejalan dengan target pemerintah mendongkrak literasi keuangan di Indonesia dan akses keuangan terhadap 75 persen penduduk Indonesia pada 2019 mendatang. Darwisman mengakui, belum semua lapisan masyarakat mengenal, memahami, dan terlibat sebagai pengguna jasa bank atau lembaga keuangan lainnya.
Di Sumatra Barat, tingkat literasi keuangan masyarakatnya masih sebesar 27,27 persen dengan tingkat inklusi sebesar 66,91 persen. Bila dipahami dalami bahasa sederhana, data tersebut menunjukkan bahwa dari 5,2 juta penduduk Sumatra Barat, hanya sekitar 1,4 juta orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan terhadap produk lembaga jasa keuangan. Sementara jumlah masyarakat Sumatera Barat yang menggunakan produk atau jasa keuangan sekitar 3,5 juta orang.
"Jadi, masih banyak masyarakat Indonesia yang hanya menggunakan tapi tidak terlalu mengerti dengan produk keuangan yang digunakannya," ujar Darwisman.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Ketenagakerjaan Nasional dan LPEM UI, estimasi jumlah penyandang disabilitas di Indonesia menyentuh 12,5 persen dari total penduduk meliputi kategori disabilitas sedang dan berat. Dari data tersebut, Sumatra Barat termasuk dalam jajaran provinsi dengan tingkat prevalensi disabilitas tertinggi di Indonesia.
Besarnya angka penyandang disabilitas di Indonesia membuat pemerintah tak oleh tutup mata. Hal ini mendorong pemerintah melalui parlemen menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menjamin antara lain hak Penyandang Disabilitas atas aksesibilitas dan pelayanan publik.
Dalam lingkup penyediaan jasa keuangan, OJK juga telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Pasal 24 POJK tersebut mewajibkan Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyediakan layanan khusus kepada Konsumen dengan kebutuhan khusus. Konsumen dengan kebutuhan khusus disini mencakup penyandang tuna netra, tuna rungu, serta konsumen usia lanjut yang berumur diatas 60 tahun.