REPUBLIKA.CO.ID, KENDAL -- Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Djoko Wahyudi menilai naiknya tarif cukai rokok yang semakin tinggi membuka peluang maraknya rokok tak bercukai alias ilegal.
"Tarif cukai naik kan membuat harga rokok juga naik. Persoalannya, harga rokok yang semakin mahal tidak lantas membuat masyarakat yang perokok berhenti merokok," katanya di Kendal, Jawa Tengah, Kamis (9/11).
Hal tersebut diungkapkannya di sela kunjungan di PT Sari Tembakau Harum di Cepiring, Kendal, Jateng, yang merupakan salah satu dari 38 mitra industri sigaret (MPS) produsen rokok PT HM Sampoerna, Tbk. Menurut dia, rokok memang bukan kebutuhan konsumsi utama masyarakat, tetapi masyarakat, terutama perokok juga sensitif dengan perubahan harga rokok yang disebabkan naiknya tarif cukai terhadap produk rokok.
"Harga rokok naik, biasanya masyarakat menyesuaikan. Misalnya, selama ini kalau beli rokok yang harga Rp15 ribu. Begitu (harga, red.) naik, mereka mencari yang harganya sama meski kualitasnya tentu lain," katanya.
Kalau memang masyarakat beralih ke rokok bermerek yang harganya lebih terjangkau masih mending karena bercukai, tetapi menjadi repot ketika mereka justru memilih produk-produk rokok yang tanpa cukai. "Pemerintah tidak akan dapat apa-apa karena rokoknya tanpa cukai. Selama ini, industri rokok kan patuh memberikan kontribusi dari pembayaran cukai yang sebagian besar memang menyumbang pendapatan negara," katanya.
Di sisi lain, kata Djoko, industri rokok juga tidak pernah merepotkan pemerintah dan menjalankan kewajibannya sesuai aturan main industri, sekaligus membantu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. "Namun, industri rokok justru dihantam dari berbagai sisi. Mulai sisi kesehatan dengan iklan yang menyebutkan slogan 'Merokok Membunuhmu', (tarif, red.) cukai rokok yang terus dinaikkan, hingga impor tembakau," pungkasnya.
Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo membenarkan nasib industri rokok di Indonesia yang seolah terus dimarjinalkan, dipojokkan, dan tidak pernah diberi ruang yang cukup untuk berusaha. Padahal, kata dia, kehadiran industri rokok melahirkan multiplier effect yang luar biasa, utamanya ekonomi, mulai petani tembakau, petani cengkeh, para pekerja industri rokok, hingga pedagang atau peritel.
"Itu baru mereka yang langsung bergelut dengan produk rokok, ada enam jutaan orang. Belum termasuk tumbuhnya perekonomian sekitar pabrik dengan munculnya warung, para pengojek, angkutan kota untuk mengangkut karyawan," katanya.
Salah satu tekanan yang dihadapi industri rokok, kata dia, naiknya tarif cukai yang terus menerus seperti berada di negeri asing, padahal satu-satunya produk rokok kretek yang ada di dunia cuma ada di Indonesia. "Produk tembakau dan turunannya itu dari hulu sampai hilir tidak pernah dapat insentif apapun dari pemerintah. Industri rokok tidak harus dibela, tetapi diberitakan objektif saja sudah bersyukur," kata Budidoyo.