Kamis 09 Nov 2017 14:47 WIB

OJK: Sumbar Jadi Pasar Potensial Fintech

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Gita Amanda
Wakil Ketua OJK, Nurhaida, hadir dalam gelaran 'OJK Mengajar' di Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat. Sosialisasi financial technology (fintech), menjadi salah satu poin penting yang disampaikan kepada mahasiswa.
Foto: Sapto Andika Candra/REPUBLIKA
Wakil Ketua OJK, Nurhaida, hadir dalam gelaran 'OJK Mengajar' di Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat. Sosialisasi financial technology (fintech), menjadi salah satu poin penting yang disampaikan kepada mahasiswa.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Sumatra Barat dianggap menjadi pasar potensial bagi pengembangan ekonomi digital atau financial technology (fintech). Kondisi ini didukung oleh inklusi keuangan yang belum tumbuh secara merata di daerah-daerah, termasuk Sumatra Barat. Masih adanya masyarakat perdesaan yang belum terakses fasilitas perbankan dan banyaknya pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Sumbar dianggap menjadi potensi besar bagi Fintech untuk berkembang. Apalagi, tercatat 80 persen pelaku UMKM masih dianggap belum layak mendapat pembiayaan dari bank.

Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute Sukarela Batunanggar menjelaskan, pada prinsipnya Sumbar sama dengan daerah lain di Indonesia yang pasarnya masih sangat terbuka bagi penetrasi perusahaan fintech. Problema di lapangan, menurutnya, adalah rendahnya inklusi keuangan di daerah.

 

"Meski ini kelemahan kita, namun kondisi ini sekaligus menjadi pelaung bagi perusahaan fintech," ujar Sukarela di Universitas Andalas, Kamis (9/11).

 

Sukarela menilai, tantangan pengembangan fintech di Indonesia memiliki keunikan dibanding negara lain. Bila negara lain tantangannya lebih kepada faktor teknis dan regulasi, Indonesia masih terbentur rendahnya inklusi keuangan. Itu lah yang mendorong OJK melakukan jemput bola dari daerah ke daerah, termasuk ke kampus-kampus untuk melakukan sosialisasi literasi keuangan.

 

Seperti yang dilakukan OJK hari ini dengan menggelar 'OJK Mengajar' di Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat. Tak hanya itu, OJK juga mendorong perusahaan fintech untuk lebih gencar lagi melakukan pengembangan pasar ke daerah terutama desa ke desa.

 

"Makanya kami dorong perusahaan fintech tingkatkan inklusi keuangan. Potensi di semua daerah sebetulnya sama besar," ujar Sukarela.

 

Sukarela menambahkan, inklusi keuangan menjadi alat bagi nasabah untuk tersentuh pelayanan jasa keuangan. Semakin tinggi masyarakat yang terakses pelayanan keuangan, maka akan semakin tinggi pula uang yang bergulir untuk melakukan pembangunan.

 

"Untuk pembangunan bisa tingkatkan pendanaan dan ini peluang bagi start up dan juga lembaga keuangan yang ada," katanya.

 

Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyebutkan, masih ada 180 juta masyarakat Indonesia yang unbankable per 2016. "Lebih dari 80 persen yang unbankable itu berada di pedesaan," ujarnya.

 

Maka, menurut dia, potensi pembiayaan melalui fintech cukup besar dan mendorong bergeraknya inklusi keuangan. Catatannya, baru ada 11 juta UMKM yang bankable atau layak mendapat pembiayaan bank. Sedangkan mayoritas, yakni 49 juta UMKM, masih unbankable.

 

Wakil Ketua OJK Nurhaida juga mengungkapkan, perkembangan sektor jasa keuangan saat ini sudah memasuki era digital. Pihaknya, lanjut Nurhaida, tidak lagi mampu melakukan pendekatan regulasi dan pengawasan dengan model lama. Ia menyebutkan, perkembangan dan inovasi di sektor jasa keuangan seperti peer to peer lending, digital banking, crowdfunding, dan era internet of things atau fintech membutuhkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai untuk mengetahui dampak baik secara bisnis, legal, maupun ekonomi secara keseluruhan.

 

"OJK harus cukup fleksibel untuk mendorong inovasi baru, namun di sisi lain cukup tegas dalam mengawal aspek perlindungan konsumen," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement