REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap kurs dolar AS. Bahkan kurs rupiah pada Jumat (27/10) sempat menembus Rp 13.630 per dolar AS, nilai terendah sejak Oktober 2016.
Chief Economist SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Sugandi menilai, pelemahan kurs rupiah disebabkan oleh faktor dalam negeri. Hal itu di antaranya karena Bank Indonesia (BI) dua kali menurunkan suku bunga acuannya BI 7-day Reverse Repo Rate dalam waktu berdekatan.
"Selisih suku bunga antara SBN (Surat Berharga Negara) dan US Treasuries (UST) jadi mengecil. Apalagi yield UST naik beberapa hari ini karena spekulasi akan agresifnya kenaikan FFR jika Taylor terpilih dan spekulasi pemerintah AS akan terbitkan lebih banyak UST untuk biaya defisit pajak," tutur Eric kepada Republika.co.id, Jumat, (27/10).
Menurutnya, hal itu menyebabkan adanya outflow dari pasar obligasi Indonesia. Imbasnya nilai tukar rupiah pun melemah terhadap dolar AS. "Saya pikir, BI harus terus lanjutkan intervensi di pasar untuk jaga volatilitas rupiah serta cegah pelemahan rupiah lebih lanjut. Kemudian jangan pangkas BI 7-day RR Rate lagi," tegas Eric.
Ia menambahkan, bank sentral harus intervensi di pasar sampai ada kepastian arah kebijakan fiskal dan moneter AS. Meski begitu, Eric menyatakan, pelemahan kurs terhadap kurs dolar AS lebih karena faktor eksternal. Dalam beberapa hari terakhir, mata uang dolar AS pun menguat terhadap banyak mata uang global.
"Hal itu karena ekspektasi pelaku pasar finansial global bahwa kongres Amerika Serikat (AS) akan menyetujui reformasi pajak Presiden Donald Trump. Ini membuat optimisme menguatnya pertumbuhan ekonomi dan earnings di berbagai perusahaan AS serta bursa-bursa AS," ujarnya.
Spekulasi mengenai posisi posisi Janet Yellen sebagai pemimpin The Fed yang akan digantikan oleh John Taylor, kata dia, juga ikut memengaruhi. Pasalnya, Taylor dinilai lebih agreasif dalam kebijakan moneter terutama terkait menaikkan suku bunga acuan AS Fed Fund Rate (FFR).