REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan impor minyak dan gas (migas) Indonesia pada September 2017 menurun sebesar 3,79 persen atau sebesar 76,3 juta dolar Amerika Serikat dibandingkan Agustus 2017. Penurunan impor migas ini dipicu oleh turunnya nilai impor minyak mentah sebesar 25,34 persen.
Meski begitu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto menjelaskan impor hasil minyak sebesar 21,4 juta dolar AS atau sebesar 1,94 persen dibandingkan Agustus 2017 dan impor gas sebesar 86 juta dolar AS atau meningkat sebesar 46,26 persen.
"Selama tiga belas bulan terakhir, nilai impor migas tertinggi tercatat pada Februari 2017 dengan nilai mencapai 2.473,1 juta dolar AS dan terendah terjadi di Oktober 2016, yaitu 1.545,2 juta dolar AS," ujar Kecuk di Kantor BPS, Senin (16/10).
Meski impor minyak mentah mengalami penurunan, namun impor terhadap gas masih tinggi sejalan dengan kondisi investasi migas di Indonesia. Menurunnya investasi di sektor migas membuat pemerintah masih mengandalkan impor di sektor migas.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya mencatat sejak 2014 investasi di bidang migas terus mengalami penurunan. Kegiatan eksplorasi yang menjadi modal awal ketersediaan minyak dan gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tak banyak bertambah hingga tahun 2017 ini.
Kementerian ESDM mencatat pada tahun 2014, total biaya eksplorasi mencapai Rp 31,01 triliun dengan rincian Rp 12,9 triliun di Wilayah Kerja (WK) eksplorasi dan Rp 18,11 triliun di WK eksploitasi. Tahun 2016, jumlahnya turun menjadi Rp 13 triliun yang meliputi Rp 4,2 triliun di WK eksplorasi dan Rp 8,8 triliun di WK eksploitasi.
Saat ini terdapat 270 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Dari jumlah tersebut, 87 KKKS masuk dalam fase eksploitasi. Sedangkan 183 KKKS masih dalam tahap eksplorasi, konvensional sebanyak 130 kontraktor dan non-konvensional sebanyak 53 kontraktor.
Advertisement