Sabtu 14 Oct 2017 16:05 WIB

Dana Desa untuk Bangun Wisata, Kenapa tidak?

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Agus Yulianto
Hijaunya daun menjadi latar belakang pagelaran busana, kegiatan ini tercatat sebagai rekor dunia oleh rekor MURI sebagai kegiatan pertama di Indonesia yang sekaligus menandai peresmian Rintisan Desa Wisata Budaya Gedangsari yang bertempat di SMKN 2 Gedangsari, Desa Tegalrejo, Kec. Gedangsari, Kab. Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (Ilustrasi)
Foto: dok. Astra International
Hijaunya daun menjadi latar belakang pagelaran busana, kegiatan ini tercatat sebagai rekor dunia oleh rekor MURI sebagai kegiatan pertama di Indonesia yang sekaligus menandai peresmian Rintisan Desa Wisata Budaya Gedangsari yang bertempat di SMKN 2 Gedangsari, Desa Tegalrejo, Kec. Gedangsari, Kab. Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Poros pembangunan yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo selama tiga tahun belakangan mulai diratakan, dari kota ke desa, dari Jawa ke luar Jawa, dan dari barat ke sisi timur Indonesia. Maka guna mendukung proses pembangunan itu, pemerintah menggulirkan dana desa, solusi pendanaan langsung bagi desa-desa di seluruh Indonesia.

Bila sebelumnya pembangunan desa lebih fokus kepada infrastruktur fisik yang menunjang konektivitas antardesa, kini pemerintah mulai menggaungkan pembangunan desa yang bakal memberikan keuntungan berkelanjutan. Melalui Rembuk Nasional 2017, pemerintah pusat mulai melempar isu pembangunan desa yang baru, yakni membangun desa berbasis wisata, budaya, dan ekonomi kreatif. Artinya, dengan dana desa yang ada setiap desa didorong untuk mulai mendorong potensi wisatanya. Tujuannya sederhana, agar masing-masing desa mulai bisa mandiri untuk "membiayai" pembangunannya sendiri.

Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan Kementerian Desa, Ahmad Erani Yustika, mengungkapkan, bahwa potensi wisata perdesaan atau desa wisata di Indonesia sangat besar. Apalagi, bila digarap serius maka bukan tak mungkin setiap desa di Indonesia bakal mandiri secara penuh untuk melakukan pembangunan. Perhitungan kasarnya, bila 170 juta penduduk usia produktif di Indonesia berpendapatan Rp 3 juta per bulan dan membelajakan Rp 500 ribu per bulan untuk 'berplesiran', maka ada potensi perputaran uang di sektor pariwisata domestik sebesar Rp 1.020 triliun.

"Bahkan kalau saya potong separuh saja, masih Rp 500 triliun. Itu potensi yang luar biasa. Kami optimis setiap desa bisa manfaatkan itu," ujar Erani di Universitas Andalas, Sabtu (14/10).

Rektor Universitas Andalas Tafdil Husni mendukung ide pemanfaatan dana desa untuk mengembangkan desa wisata. Namun, ida berpandangan, selain wisata sebetulnya ada potensi lain yang bisa dilakukan oleh setap desa, termasuk mengembangkan pertanian. Baik pariwisata dan pertanian, menurutnya, sama-sama memberikan efek ikutan yang membangun kemandirian ekonomi masyarakat.

"Para prinsipnya kan pengembangan desa, termasuk dengan wisata atau industri kreatif lainnya oleh penduduk desa," ujar Tafdil.

Universitas Andalas, lanjut Tafdil, telah membentuk Nagari Development Center yang memfokuskan diri untuk membantu pengembangan nagari. Salah satu kebijakan yang dilakukan, mengirimkan profesor dan doktor di lingkungan Universitas Andalas untuk menjadi staf ahli di 32 nagari di Sumatra Barat. Seluruh "orang pintar" tersebut diminta untuk kembali ke nagari asal masing-masing dan mengabdikan diri membantu pembangunan di sana.

"Untuk saat ini fokus kami di pangan dulu. Kami ingin 5 tahun lagi nagari ini mandiri pangan," ujar Tafdil.

Kepala Unit Kerja Industri Kreatif Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) Irfan Wahid menambahkan, hingga saat ini, sudah ada 1.904 desa wisata yang siap ditampilkan dan dipromosikan secara gencar. Itu mengapa, potensi wisata di Indonesia sanggup menempati posisi kedua sebagai penyumbang devisa negara setelah devisa ekspor minyak sawit atau CPO.

Tak hanya itu, Irfan juga menyinggung soal pengembangan desa wisata yang tak bakal lepas dari industri mikro kecil dan menengah (UMKM). Artinya, pengembangan desa wisata mau tak mau akan satu paket dengan pengembangan UMKM. "Kalau semua disatukan akan menjadi potensi yang luar biasa kan?" katanya.

Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno menilai, bahwa desa-desa di Sumatra Barat, atau nagari, memiliki potensi besar untuk diolah menjadi desa wisata. Ia berharap, hasil dari rembuk nasional ini bisa didengar oleh Presiden Jokowi.

"Acara ini sekaligus sarana kami meminta dukungan dari pusat. Kami harap pesan kami di sini disampaikan melalui Wantimpres. Dan bisa komunikasikan dengan Presiden bahwa Sumbar punya potensi besar," katanya.

Pertama kali digaungkan oleh pemerintahan Jokowi pada 2015 lalu, dana desa dianggarkan sebesar Rp 20,76 triliun. Berbekal kesadaran bahwa pembangunan di desa merupakan modal kuat untuk melejitkan pertumbuhan ekonomi nasional, anggaran dana desa dinaikkan menjadi Rp 46,9 triliun pada 2016.

Bahkan angkanya terus melonjak di tahun ketiga pemerintahan Jokowi. Tahun 2017 ini, alokasi dana desa naik menjadi Rp 60 triliun. Belum cukup, aliran dana desa akan dinaikkan dua kali lipat menjadi Rp 120 triliun pada 2018 mendatang. Peningkatan dana desa sesuai UU Nommor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Ketua Panitia Rembuk Nasional Firdaus Ali menjelaskan, Jokowi secara khusus meminta untuk diadakan diskusi di 16 lokasi untuk menyaring masukan dan evaluasi tiga tahun pemerintahannya. Seluruh hasil rembuk yang dilakukan bersama akademisi, pengusaha, masyarakat, dan pemerintah daerah ini akan dibawa ke istana untuk kembali dievaluasi di level pemerintah pusat.

"Rembuk ini pertama kalinya sepanjang sejarah pemerintah membuka diri untuk menerima koreksi. Biasanya pemerintah itu ya bablas aja. Ini tradisi baru, berembuk untuk mendapat masukan feedback dari rakyat," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement