Selasa 19 Sep 2017 15:42 WIB

Pedagang di Lampung Ogah Terapkan HET Beras

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Nur Aini
Aktivitas di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Ahad (3/9).Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk komiditi beras yang mulai diberlakukan sejak Jumat (1/9).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Aktivitas di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Ahad (3/9).Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk komiditi beras yang mulai diberlakukan sejak Jumat (1/9).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Sejumlah pedagang beras di pasar-pasar tradisional Kota Bandar Lampung tidak mempedulikan harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan Kementerian Perdagangan. Pedagang menyatakan harga beras ditentukan dengan pasokan beras dari sentra produksi beras di Lampung bukan penetapan harga.

Menurut Hasnan, pedagang beras di Pasar Tani Kemiling, harga beras selalu berubah-ubah bergantung pada pasokan beras dari daerah penghasil beras di Lampung. "Kalau musim kering sekarang harga beras sudah pasti naik semua. Tapi kalau musim giling, harga mulai turun kembali," katanya, Selasa (19/9).

Saat ini, ia mengatakan, harga beras berbagai merek, jenis, dan kualitas mengalami kenaikan Rp 500 hingga Rp 1.000 per kilogram. Kenaikan dipicu karena petani belum memasuki musim panen dan kondisi kemarau memengaruhi pasokan gabah ke penggilingan.

Pedagang beras di Pasar Pasir Gintung juga merasakan penentuan HET untuk beras berbagai jenis seperti medium dan premium, menyulitkan pedagang. Penetapan harga oleh pemerintah, menurut Ujang, pedagang beras di Pasar Pasir Gintung, mengacaukan harga beras di pasaran.

Ia mengatakan kacaunya harga beras yang diberlakukan sesuai HET menjadi rentang harga beras kualitas medium dan premium terlalu jauh. "Sehingga kalau menerapkan harga beras sesuai HET jelas tinggi. Konsumen malah menolak," ujarnya.

Menurut dia, harga beras tidak bisa ditetapkan atau ditentukan sepihak. Harga beras berdasarkan mekanisme pasar. "Bila pasokan banyak harga kembali turun, sedangkan bila pasokan mulai merosot harga menjadi tinggi, hal itu bergantung dengan kondisi petani dan musimnya," ujarnya.

Ia mengatakan konsumen beras di Lampung tidak melihat harga tetapi melihat kualitas beras. "Bila beras asalan harganya sesuai dengan kondisinya, begitu juga dengan beras medium dan premium. Ada yang beli beras asalan tapi mutunya bagus harga sesuai. Tapi kalau dipatok jadi kacau harganya," katanya.

Kementerian Perdagangan telah menetapkan HET untuk beras medium untuk setiap kilogram adalah Rp9.450 (Jawa, Lampung, Sumsel) dan Rp9.950 (Sumatera), Rp9.450 (Bali, NTB), Rp9.950 (NTT), Rp9.450 (Sulawesi), Rp9.950 (Kalimantan), Rp10.250 (Maluku), dan Rp10.250 (Papua). Sedangkan HET untuk beras premium untuk setiap kilogram adalah Rp12.800 (Jawa, Lampung, Sumsel), Rp13.300 (Sumatera), Rp12.800 (Bali, NTB), Rp13.300 (NTT), Rp12.800 (Sulawesi), Rp13.300 (Kalimantan), Rp13.600 (Maluku), dan Rp13.600 (Papua).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement