REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Neraca perdagangan pada Agustus 2017 lalu tercatat mengalami surplus 1,72 miliar dolar AS sebagai dampak positif dari membaiknya harga sejumlah komoditas yang menjadi andalan Indonesia. Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan, momentum ini harus dimanfaatkan pemerintah.
Bhima menyarankan pemerintah segera melakukan negosiasi dan menyelesaikan hambatan ekspor dengan negara-negara yang menjadi mitra dagang Indonesia. "Kasus terbaru adalah rencana India meningkatkan bea masuk CPO dari Indonesia. Hal tersebut bisa menghambat kinerja ekspor, harus segera diselesaikan," ujarnya, saat dihubungi Republika, Ahad (17/9).
Lebih lanjut, Bhima mengatakan, pemerintah juga perlu mendorong perluasan pasar alternatif ekspor seperti Rusia, Afrika Selatan, dan Timur Tengah agar tak selalu bergantung pada negara-negara yang selama ini sudah menjadi mitra dagang. Hal lain yang juga penting, lanjut Bhima, yaitu dengan memberikan insentif bagi industri manufaktur berorientasi ekspor agar laju pertumbuhan ekspor nonmigas tetap tinggi. "Khususnya di November- Desember karena bertepatan dengan naiknya permintaan global menjelang Natal dan Tahun Baru."
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis neraca perdagangan pada Agustus 2017 yang menunjukkan surplus 1,72 miliar AS. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, surplus yang cukup besar ini disumbang oleh meningkatnya ekspor migas sebesar 9,61 persen dan ekspor nonmigas yang naik 11,93 persen. "Surplus ini tertinggi sejak 2012," ujarnya, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (15/9).
Secara kumulatif, pada periode Januari-Agustus 2017 neraca perdagangan mengantongi surplus sebesar 9,11 miliar dolar AS. Ekspor tercatat sebanyak 108,79 miliar dolar AS dan impor 99,68 miliar dolar AS.