REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menekankan pentingnya menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil terhadap dolar AS, tidak terlalu menguat dan tidak terlalu melemah.
"Bagi BI, yang penting rupiah stabil. Saya rasa bagi pelaku usaha begitu. Rupiah terlalu lemah tidak bagus buat yang punya kewajiban valas dan importir, tapi bisa dorong ekspor. Rupiah yang terlalu kuat membuat orang kemudian melakukan impor terus," ujar Mirza saat ditemui di Kompleks Perkantoran BI Jakarta, Jumat (8/9).
Nilai tukar rupiah yang terlalu menguat, kata Mirza, cenderung tidak akan memacu peningkatan produksi barang atau produk dalam negeri karena para pelaku usaha lebih memilih impor dari negara lain yang menyuplai barang tersebut. Kendati demikian, nilai tukar rupiah yang terlalu kuat juga tidak memberikan dampak yang baik terhadap neraca perdagangan.
"Rupiah yang bagus bagaimana? Yang mencerminkan ekuilibrium ekonomi, fundamental ekonomi, support neraca perdagangan untuk surplus, dan menjaga inflasi rendah. Bukan berarti rupiah menguat terus bagus buat ekonomi," kata Mirza.
Berdasarkan data kurs tengah BI, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Jumat mencapai Rp 13.284 per dolar AS, menguat dibandingkan pada awal pekan yang berada di posisi Rp 13.345 per dolar AS. Bank sentral menilai penguatan nilai tukar rupiah dalam sepekan terakhir dipengaruhi oleh kondisi ekonomi Amerika Serikat yang tidak tumbuh setinggi yang diperkirakan.
Kenaikan suku bunga acuan AS (Fed Fund Rate) pun diprediksi tidak akan sebanyak yang diperkirakan sebelumnya yaitu hingga empat sampai lima kali. The Fed sudah dua kali dilakukan tahun ini, tetapi diperkirakan kenaikan suku bunga tidak akan terjadi pada September namun berpotensi meningkat 25 basis poin pada Desember 2017 mendatang.