REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Munculnya peraturan larangan dan pembatasan (Lartas) impor bahan baku industri seperti garam, jagung, tembakau dan beberapa bahan baku lainnya membuat khawatir para pelaku industri. Maklum saja, komoditas-komoditas tersebut merupakan tambahan baku utama bagi industri.
Menurut Asosasi Gula Rafinasi, Benny Wahyudi, ketersedian bahan baku sangat penting bagi keberlanjutan dan pertumbuhan industri. Senada dengan Benny, Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Hasan Aoni Aziz US meminta pemerintah mesti perhatikan regulasi soal impor.
"Seluruh regulasi yang mengatur soal industri harus mengedepankan soal reward bukan punish, regulasi harus menyesuaikan tingkah laku konsumen," ujar Hasan dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id, di Jakarta, Kamis (25/8).
Sementara Pengamat ekonomi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menambahkan, ada kesalahan paradigma yang cukup luas di Indonesia. "Ini perlu ada perubahan paradigma bahwa impor itu jelek. Impor itu adalah bagian dari produksi, saat ini kita tidak bisa menempatkan impor itu jelek," ungkapnya.
Lebih jauh Yose menyampaikan, semakin tinggi impor content, semakin tinggi pula ekspornya. Sebaliknya demikian.
Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang menyatakan, petani dan industri harus sinergis. Kebijakan importasi ini bertujuan untuk melindungi negara kita yang agraris.
Lartas bertujuan untuk mencari titik temu keseimbangan. "Apabila ada jenis yang belum mampu diproduksi, monggo di impor," ujarnya.
Menanggapi isu dalam kebijakan Lartas ini, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman menyampaikan bahwa jika akan mengeluarkan regulasi, penting sekali untuk mengajak bicara industri. Apalagi terkait bahan baku industri. "Tanpa dukungan bahan baku yang memadai, hal ini akan berdampak pada penurunan daya saing industri," katanya.