Kamis 24 Aug 2017 20:50 WIB

Ekonom: HET Beras Bisa Kontraproduktif

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Bustanul Arifin menilai langkah Kementerian Perdagangan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras berdasarkan kualitas dan daerah sudah tepat. Hanya saja, ia menilai harusnya pemerintah menetapkan harga referensi ketimbang HET.

Ia berargumen, HET memiliki konsukensi hukum. Artinya pelaku usaha yang menjual dengan harga lebih tinggi dari ketentuan bisa ditindak oleh aparat penegak hukum.

"Itu menakutkan. Apalagi kalau tim pengaman harga melakukan langkah represif, bisa kontraproduktif," ujar Bustanul, saat dihubungi Republika, Kamis (24/8). "Kementerian Perdagangan itu harusnya membina pedagang, bukan menakuti."

Agar kebijakan terkait harga beras tersebut dapat berjalan efektif, ia menyarankan agar Kemendag melakukan upaya sosialisasi yang panjang kepada semua pihak yang berkepentingan.

Seperti diketahui, pemerintah telah menetapkan HET untuk beras yang berlaku mulai 1 September mendatang. Penetapan HET, yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari gejolak harga ini, dibagi berdasarkan wilayah.

Untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi, HET untuk beras medium ditetapkan Rp 9.450 per kilogram dan beras premium Rp 12.800 per kilogram.

Sementara, untuk wilayah Sumatra (kecuali Lampung dan Sumatra Selatan), Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan, HET untuk beras medium ditetapkan Rp 9.950 per kilogram dan beras premium Rp 13.300 per kilogram. Adapun untuk wilayah Maluku dan Papua, HET untuk beras medium menjadi Rp 10.250 per kilogram dan beras premium Rp 13.600 per kilogram.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement