Rabu 23 Aug 2017 15:48 WIB

Rusia Ingin Bangun Energi Nuklir di Indonesia

Salah satu reaktor nuklir yang ada di Bushehr, Iran, yang bisa menghasilkan energi listrik (ilustrasi)
Foto: AP
Salah satu reaktor nuklir yang ada di Bushehr, Iran, yang bisa menghasilkan energi listrik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rusia mengaku ingin berinvestasi dengan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia. Hal itu untuk memastikan pemerataan pasokan energi di negara dengan elektrifikasi yang baru mencapai 89,5 persen.

"Kami berpendapat bahwa kebutuhan listrik di Indonesia tidak akan dapat terpenuhi hanya dengan cara konvensional, oleh karena itulah kami menawarkan pembangkit listrik tenaga nuklir," kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin, kepada sejumlah wartawan di Jakarta, Rabu (23/8). "Tapi tawaran ini akan bergantung sepenuhnya pada keputusan politik pemerintah Indonesia," kata Galuzin.

Galuzin menceritakan bahwa Moskow sudah punya pengalaman banyak dalam membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di banyak negara dunia. Tahun lalu misalnya, perusahaan milik negara Rusia mulai membantu pembangunan PLTN senilai 10 miliar dolar AS di Iran.

Beberapa negara lain yang bekerja sama dengan Rusia untuk listrik tenaga nuklir di antaranya adalah Nigeria, Yordania, dan India. Pada Mei lalu, perusahaan milik Rusia, Rosatom State Atomic Energy, juga sempat menawarkan proposal serupa kepada Indonesia melalui Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Pandjaitan.

Mereka sudah mengusulkan beberapa tempat pembangunan PLTN, dengan kapasitan lebih dari 1.000 megawatt, yang dinilai bebas dari bencana gempa seperti Pulau Bangka dan Kalimantan Timur. Namun saat itu Luhut mengatakan bahwa Indonesia belum siap dan masih harus meningkatkan kesadaran publik terlebih dahulu terkait listrik bertenaga nuklir.

Energi nuklir sendiri masih menjadi perdebatan di Indonesia. Menurut laporan lembaga World Nuclear Association, Indonesia akan membutuhkan 450 miliar kWh pada 2026 mendatang dengan asumsi pertumbuhan permintaan industri sebesar 10,5 persen setiap tahunnya.

Sebagian besar kebutuhan itu kini masih disuplai pembangkit listrik Jawa-Bali, yang menggunakan bahan bakar minyak dan gas. DDengan tingkat cadangan yang rendah sehingga listrik sering padam karena tidak mampu memenuhi tingginya permintaan.

Atas situasi itulah Rusia mengusulkan pembangunan PLTN yang tidak hanya menaikkan rasio eletrifikasi tetapi juga memastikan pasokan tetap bisa diandalkan. Tetapi di sisi lain, limbah dari PLTN yang sangat beracun dan tidak bisa diolah juga sering menjadi bahan pertimbangan para pengambil kebijakan.

Sampai saat ini, satu-satunya cara untuk membuang limbah nuklir adalah dengan menimbun sampah tersebut di bawah tanah. Namun meningat Indonesia adalah negara di kawasan cincin api yang rawan gempa, metode tersebut sangat berpotensi membuat tempat penyimpanan limbah bocor dan meracuni air tanah.

Peristiwa kebocoran tersebut pernah terjadi di Jepang, negara yang dikenal berhasil mengembangkan teknologi tinggi, pada tahun 2011 saat gempa berkekuatan 9,0 SR membuat tempat penyimpanan limbah nuklir di Fukushima bocor. Menurut Greenpeace, dampak dari kebocoran itu akan merusak ekosistem selama puluhan bahkan ratusan tahun.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement