REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pajak Yustinus Prastowo menilai, pengenan pajak untuk niaga elektronik harus dirumuskan kebijakan pajak yang menciptakan keadilan dengan niaga konvensional. Menurut dia, Indonesia akan mencapai titik keadilan.
Tapi, karena titik awalnya beda, maka harus ada tahapan-tahapan yang jelas menuju ke sana. ''Jangan sampai ada yang tidak bisa dikenai pajak karena menimbulkan ketidakadilan,'' kata Yustinus, saat dihubungi Republika, Selasa (22/8).
Tapi, lanjutnya, harus dibedakan antara kebijakan dan administrasinya. Pertama soal keadilan memajaki, kedua cara memajaki yang efektif. Dalam hal ini pajak yang bisa dikenakan adalah PPN atas penjualan barang dan PPh kalau ada pendapatan dan subjeknya terdapat dalam UU Indonesia.
Ia menjelaskan, salah satu cara yang efektif di Uni Eropa adalah menerapkan origin principle untuk PPN, dipungut di negara yang menjual, lalu berbagai dengan negara tujuan. Di Indonesia menunjukkan, memajaki niaga elektronik harus bekerja sama, regionalisme jadi penting.
''Ada paradoks competition. Tetap berkompetisi agar tidak ketinggalan, tapi harus bekerjasama agar mendapat hasil optimal,'' ujar Yustinus.
Jika salah membuat kebijakan, kata dia, maka niaga elektronik berpotensi goyang, karena ciri niaga elektronik dan ekonomi digital ini padat modal dan dinamis. Sehingga, jika pengenaan pajak terlalu agresif, terutama untuk start up, bisa mendistorsi sektor tersebut.
''Maka sebaiknya strateginya withholding dengan tarif rendah supaya kompetitif dengan negara lain, yang penting dorong semua teregister,'' jelasnya.